✔ Beberapa Faktor Yang Menjadi Tantangan Profesi Guru
Beberapa Faktor yang Menjadi Tantangan Profesi Guru - . Dalam menjalankan profesinya, guru mendapat tantantangan berat yang harus dilaluinya. Diantaranya:
(1) Perkembangan Teknologi Informasi
Dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru, terjadinya revolusi teknologi informasi merupakan sebuah tantangan yang harus bisa dipecahkan secara mendesak. Adanya perkembangan teknologi informasi yang demikian akan mengubah pola hubungan guru-murid, teknologi instruksional dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Kemampuan guru dituntut untuk menyesuaikan hal demikian itu. Adanya revolusi informasi harus sanggup dimanfaatkan oleh bidang pendidikan sebagai alat mencapai tujuannya dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat. Untuk itu, perlu didukung oleh suatu kehendak dan etika yang dilandasi oleh ilmu pendidikan dengan sumbangan banyak sekali pengalaman para praktisi pendidikan di lapangan. Perkembangan teknologi (terutama teknologi informasi) mengakibatkan peranan sekolah sebagai forum pendidikan akan mulai bergeser. Sekolah tidak lagi akan menjadi satu-satunya pusat pembelajaran alasannya yaitu acara berguru tidak lagi terbatasi oleh ruang dan waktu. Peran guru juga tidak akan menjadi satu-satunya sumber belajar, alasannya yaitu banyak sumber berguru dan sumber informasi yang bisa memfasilitasi seseorang untuk belajar.
Wen (2003) seorang usahawan teknologi mempunyai gagasan mereformasi sistem pendidikan masa depan. Menurutnya, apabila anak diajarkan untuk bisa berguru sendiri, mencipta, dan menjalani kehidupannya dengan berani dan percaya diri atas fasilitasi lingkungannya (keluarga dan masyarakat) serta tugas sekolah tidak hanya menekankan untuk mendapat nilai-nilai ujian yang baik saja, maka akan jauh lebih baik sanggup menghasilkan generasi masa depan. Orientasi pendidikan yang terlupakan yaitu bagaimana supaya lulusan suatu sekolah sanggup cukup pengetahuannya dan kompeten dalam bidangnya, tapi juga matang dan sehat kepribadiannya. Bahkan konsep perihal sekolah di masa yang akan datang, menurutnya akan berubah secara drastis. Secara fisik, sekolah tidak perlu lagi menyediakan sumber-sumber daya yang secara tradisional berisi bangunan-bangunan besar, tenaga yang banyak dan perangkat lainnya. Sekolah harus bekerja sama secara komplementer dengan sumber berguru lain terutama kemudahan Internet yang telah menjadi “sekolah maya”.
Bagaimanapun kemajuan teknologi informasi masa yang akan datang, keberadaan sekolah tetap akan diharapkan oleh masyarakat. Kita tidak sanggup menghapus sekolah, alasannya yaitu dengan alasan telah ada teknologi informasi yang maju. Ada sisi-sisi tertentu dari fungsi dan peranan sekolah yang tidak sanggup tergantikan, contohnya hubungan guru-murid dalam fungsi menyebarkan kepribadian atau membina huhungan sosial, rasa kebersamaan, kohesi sosial, Teknologi informasi hanya mungkin menjadi pengganti fungsi penyebaran informasi dan sumber berguru atau sumber materi ajar. Bahan didik yang semula disampaikan di sekolah secara klasikal, kemudian sanggup diubah menjadi pembelajaran yang diindividualisasikan melalui jaringan internet yang sanggup diakses oleh siapapun dari manapun secara individu. (Karsidi, 2004).
Inilah tantangan profesi guru. Apakah kiprahnya akan digantikan oleh teknologi informasi, atau guru yang memanfaatkan teknologi informasi untuk menunjang tugas profesinya. Dunia pendidikan harus menyiapkan seluruh unsur dalam sistem pendidikan supaya tidak tertinggal atau ditinggalkan oleh perkembangan teknologi informasi tersebut. Melalui penerapan dan pemilihan teknologi informasi, yang sempurna (sebagai bab dari teknologi pendidikan), maka perbaikan mutu yang berkelanjutan sanggup diharapkan. Perbaikan yang berlangsung terus menerus secara konsisten/konstan akan mendorong orientasi pada perubahan untuk memperbaiki secara terus menerus dunia pendidikan. Adanya revolusi informasi sanggup menjadi tantangan bagi forum pendidikan alasannya yaitu mungkin kita belum siap menyesuaikan. Sebaliknya, hal ini akan menjadi peluang yang baik bila forum pendidikan bisa menyikapi dengan penuh keterbukaan dan berusaha menentukan jenis teknologi informasi yang tepat, sebagai penunjang pencapaian mutu pendidikan.
Pemilihan jenis media sebagai bentuk aplikasi teknologi dalam pendidikan harus dipilih secara tepat, cermat dan sesuai kebutuhan, serta bermakna bagi peningkatan mutu pendidikan kita.
(2) Desentralisasi, Otonomi Daerah, dan Desentralisasi di Bidang Pendidikan
Desentralisasi, demokrasi, dan otonomi merupakan gosip yang amat terkenal pada akhir-akhir ini, khususnya di Indonesia sebagai efek reformasi di segala bidang, khususnya pula bidang pemerintahan. Isu semacam itu bukanlah sesuatu yang baru, alasannya yaitu sebelumnya gosip semacam itu telah usang dilontarkan bersamaan dengan keinginan mengganti sistem pemerintahan diktatorial yang berkembang di Eropa Tengah dan Timur pada selesai tahun 1989 dan awal tahun 1990 (David Held dalam Miftah Thoha, 1998).
Perubahan penataan administrasi pemerintahan tentu berakibat pula pada penataan administrasi pendidikan. Dasar penataan itu yaitu diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 perihal Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-undang itu disebutkan bahwa desentralisasi yaitu suatu azas dan proses pembentukan Otonomi Daerah dan atau penyerahan wewenang pemerintah di bidang tertentu oleh Pemerintah Pusat. Sejalan dengan itu ditegaskan pula bahwa otonomi kawasan yaitu kewenangan dan kebebasan kawasan otonom untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan berdasarkan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan masyarakat itu, ditegaskan pula bahwa kawasan dibuat berdasarkan kehendak masyarakat setempat dengan mempersyaratkan kemampuan ekonomi, potensi daerah, jumlah penduduk, luas daerah, pertahanan dan keamanan nasional dan banyak sekali syarat lain yang memungkinkan kawasan menyelenggarakan otonomi kawasan (Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 7 ayat 1). Namun, kewenangan kawasan otonom itu mempunyai keterbatasan. Walaupun semua kewenangan diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah kawasan terdapat perkecualian kewenangan itu dalam bidang: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan kebijakan strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan (pasal 10). UU No.32 Tahun 2004 di atas, sekaligus pula menegaskan bahwa bidang pendidikan merupakan bidang yang termasuk dalam garapan kewenangan kawasan otonom atau penyerahan (pendelegasian) pemerintah pusat yang dikenal dengan desentralisasi.
Bagi pembelajar dan pengkaji administrasi pendidikan, desentralisasi di bidang pendidikan bukanlah suatu kajian yang baru. Sistem persekolahan di Amerika Serikat oleh faktor kesejarahannya telah usang menerapkan sistem desentralisasi dengan pemberian kewenangan pada local school district (Holmes, 1985). Desentralisasi administrasi pendidikan meliputi delegasi dari kewenangan pusat (central authority) kepada unit-unit sistem sekolah lokal dalam tanggung jawab fungsional dan pengambilan keputusan. Dalam sistem administrasi semacam itu dijumpai dua jenis eksekutif, yaitu individual school executive dan administrative district executive. Di hampir semua negara bagian, tanggung jawab organisasional dan administratif didelegasikan kepada local school district (Morphet dkk., 1982). Tentunya kita sanggup menggandakan model desentralisasi yang diterapkan dalam sistem persekolahan di Amerika Serikat itu, yang lebih dikenal dengan model: school site management (Guthrie, 1991). Namun, hal menarik yang merupakan unsur penting dalam desentralisasi yaitu diangkatnya tugas dan keterlibatan masyarakat dalam fungsi: community control dan community participation (Morphet dkk., 1982) yang sejalan dengan pernyataan UU No.32 Tahun 2004 perihal aspirasi masyarakat.
(3) Desentralisasi di Bidang Pendidikan
Sistem sentralisasi atau desentralisasi dalam penyelenggaraan atau administrasi pemerintahan mempunyai implikasi eksklusif terhadap penyelenggaraan pendidikan, sistem pendidikan nasional, dan administrasi pendidikan. Bidang-bidang yang terkait eksklusif dengan sistem itu yaitu kebijakan, pengawasan, mutu dan sumber dana pendidikan (Burhanuddin dkk., 1998).
Jika, desentralisasi mengandung makna pendelegasian wewenang, baik itu menyeluruh ataupun sebagian, maka desentralisasi di bidang pendidikan harus pula dipandang sebagai pendelegasian sebagian atau seluruh wewenang. Pendelegasian itu bisa berarti penyerahan wewenang dari pusat ke daerah, atau dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, atau dari unit ke unit di bawahnya, termasuk pula dari pemerintah ke masyarakat. Salah satu wujud desentralisasi yang dimaksud yaitu terlaksananya proses otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan (Miftah Thoha, 1998). Namun, kewenangan itu perlu diklarifikasikan. Kewenangan begitu luasnya, menyerupai kewenangan merumuskan, menetapkan, melaksanakan hingga dengan melaksanakan penilaian terhadap suatu kebijakan yang jangkauannya bersifat nasional. Karena itu tidak seluruh kewenangan sanggup didesentralisasikan (Miftah Thoha, 1998).
Walaupun pemerintah kawasan mempunyai otonomi untuk merumuskan, melaksanakan, bahkan mengevaluasi suatu kebijakan, maka disinilah letaknya peranan penjelasan yang memutuskan banyak sekali aspek pendidikan yang sanggup didelegasikan, yang pada penyelenggaraannya terlepas dari campur tangan pemberi wewenang atau delegasi. Walaupun undang-undang yang memperlihatkan peluang untuk dilaksanakannya otonomi kawasan atau desentralisasi di bidang pendidikan, namun masih diharapkan pengkajian dan pengaturan untuk mengurangi benturan pelaksanaan di lapangan. Karena itu, UU tersebut memerlukan peraturan pelaksanaan.
(4) Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan
Kini, paradigma pembangunan yang secara umum dikuasai telah mulai bergeser ke paradigma desentralistik. Sejak diundangkan UU No.32/2004 perihal Pemda maka menandai perlunya desentralisasi dalam banyak urusan yang semula dikelola secara sentralistik. Menurut Tjokroamidjoyo (dalam Jalal dan Supriyadi, 2001), bahwa salah satu tujuan dari desentralisasi yaitu untuk meningkatkan pengertian rakyat serta sumbangan mereka dalam kegiatan pembangunan dan melatih rakyat untuk sanggup mengatur urusannya sendiri. Ini artinya, bahwa kemauan berpartisipasi masyarakat dalam pembangunan (termasuk dalam pengembangan pendidikan) harus ditumbuhkan dan ruang partisipasi perlu dibuka selebar-lebarnya.
Bergesernya paradigma pembangunan yang sentralistik ke desentralistik telah mengubah cara pandang penyelenggara negara dan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan. Pembangunan harus dipandang sebagai bab dari kebutuhan masyarakat itu sendiri dan bukan semata kepentingan negara. Pembangunan seharusnya mengandung arti bahwa insan ditempatkan pada posisi pelaku dan sekaligus akseptor manfaat dari proses mencari solusi dan meraih hasil pembangunan untuk dirinya dan lingkungannya dalam arti yang lebih luas. Dengan demikian, masyarakat harus bisa meningkatkan kualitas kemandirian mengatasi duduk masalah yang dihadapinya, baik secara individual maupun secara kolektif.
Belajar dari pengalaman bahwa dikala tugas pemerintah sangat secara umum dikuasai dan tugas serta masyarakat hanya dipandang sebagai kewajiban, maka masyarakat justru akan terpinggirkan dari proses pembangunan itu sendiri. Penguatan partisipasi masyarakat haruslah menjadi bab dari agenda pembangunan itu sendiri, lebih-lebih dalam kurun globalisasi. Peran serta masyarakat harus lebih dimaknai sebagai hak daripada sekadar kewajiban. Kontrol rakyat (anggota masyarakat) terhadap isi dan prioritas agenda pengambilan keputusan pembangunan harus dimaknai sebagai hak masyarakat untuk ikut mengontrol agenda dan urutan prioritas pembangunan, bagi dirinya atau kelompoknya. (Karsidi, 2004).
Desentralisasi yaitu penyerahan sebagian otoritas pemerintah pusat ke daerah, untuk mendistribusikan beban pemerintah pusat ke kawasan sehingga kawasan dan masyarakatnya ikut menanggung beban tersebut. Tujuannya adalah: (1) mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan perihal masalah-masalah kecil di tingkat lokal, (2) meningkatkan partisipasi masyarakat, (3) menyusun program-program perbaikan pada tingkat lokal yang lebih realistik, (4) melatih rakyat mengatur urusannya sendiri, (5) membina kesatuan nasional yang merupakan motor pencetus memberdayakan daerah. Dalam desentralisasi pendidikan, pemerintah pusat lebih berperan dalam menghasilkan budi fundamental (menetapkan standar mutu pendidikan secara nasional), sementara budi operasional yang menyangkut variasi keadaan kawasan didelegasikan kepada pejabat kawasan bahkan sekolah.
Kurikulum dan proses pendidikan dalam kerangka otonomi daerah, ada bab yang perlu dibakukan secara nasional, tetapi hanya terbatas pada beberapa aspek pokok, yaitu: (1) Substansi pendidikan yang berada dibawah tanggungjawab pemerintah, menyerupai PKN, Sejarah Nasional, Pendidikan Agama, dan Bahasa Indonesia; (2) Pengendalian mutu pendidikan, berdasarkan standar kompetensi minimum; (3) Kandungan konten setiap bidang studi, khususnya yang menyangkut ilmu-ilmu dasar; (4) Standar-standar teknis yang ditetapkan berdasarkan standar mutu pendidikan.
Program-program pembelajaran di sekolah berupa desain kurikulum dan pelaksanaannya, kegiatan-kegiatan nonkurikuler hingga pada pengadaan kebutuhan sumber daya untuk suatu sekolah supaya sanggup berjalan lancar, sepertinya harus sudah mulai diberikan ruang partisipasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Demikian pula di lembaga-lembaga pendidikan lainnya non sekolah, ruang partisipasi tersebut harus dibuka lebar supaya tanggung jawab pengembangan pendidikan tidak tertumpu pada forum pendidikan itu sendiri, lebih-lebih pada pemerintah sebagai penyelenggara negara.
Cara untuk penyaluran partisipasi sanggup diciptakan dengan banyak sekali variasi cara sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah atau komunitas tempat masyarakat dan forum pendidikan itu berada. Kondisi ini menuntut kesigapan para pemegang kebijakan dan manajer pendidikan untuk mendistribusi tugas dan kekuasaannya supaya bisa menampung sumbangan partisipasi masyarakat. Sebaliknya, dari pihak masyarakat (termasuk orang renta dan kelompok-kelompok masyarakat) juga harus berguru untuk kemudian bisa mempunyai kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan.
Sebagai teladan perihal partisipasi dunia usaha/industri pada kurun otonomi daerah. Mereka tidak bisa tinggal membisu menunggu dari suatu forum pendidikan/sekolah hingga sanggup meluluskan alumninya, kemudian menggunakannya jikalau menghasilkan output yang baik dan mengkritiknya jikalau terdapat output yang tidak baik. Partisipasi dunia usaha/industri terhadap forum pendidikan harus ikut bertanggung jawab untuk menghasilkan output yang baik sesuai dengan rumusan keinginan bersama. Demikian juga kelompok-kelompok masyarakat lain, termasuk orang renta siswa. Dengan cara menyerupai itu, maka mutu pendidikan suatu forum pendidikan akan menjadi tanggung jawab bersama antara forum pendidikan dan komponen-komponen lainnya di masyarakat.
(1) Perkembangan Teknologi Informasi
Dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru, terjadinya revolusi teknologi informasi merupakan sebuah tantangan yang harus bisa dipecahkan secara mendesak. Adanya perkembangan teknologi informasi yang demikian akan mengubah pola hubungan guru-murid, teknologi instruksional dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Kemampuan guru dituntut untuk menyesuaikan hal demikian itu. Adanya revolusi informasi harus sanggup dimanfaatkan oleh bidang pendidikan sebagai alat mencapai tujuannya dan bukan sebaliknya justru menjadi penghambat. Untuk itu, perlu didukung oleh suatu kehendak dan etika yang dilandasi oleh ilmu pendidikan dengan sumbangan banyak sekali pengalaman para praktisi pendidikan di lapangan. Perkembangan teknologi (terutama teknologi informasi) mengakibatkan peranan sekolah sebagai forum pendidikan akan mulai bergeser. Sekolah tidak lagi akan menjadi satu-satunya pusat pembelajaran alasannya yaitu acara berguru tidak lagi terbatasi oleh ruang dan waktu. Peran guru juga tidak akan menjadi satu-satunya sumber belajar, alasannya yaitu banyak sumber berguru dan sumber informasi yang bisa memfasilitasi seseorang untuk belajar.
Wen (2003) seorang usahawan teknologi mempunyai gagasan mereformasi sistem pendidikan masa depan. Menurutnya, apabila anak diajarkan untuk bisa berguru sendiri, mencipta, dan menjalani kehidupannya dengan berani dan percaya diri atas fasilitasi lingkungannya (keluarga dan masyarakat) serta tugas sekolah tidak hanya menekankan untuk mendapat nilai-nilai ujian yang baik saja, maka akan jauh lebih baik sanggup menghasilkan generasi masa depan. Orientasi pendidikan yang terlupakan yaitu bagaimana supaya lulusan suatu sekolah sanggup cukup pengetahuannya dan kompeten dalam bidangnya, tapi juga matang dan sehat kepribadiannya. Bahkan konsep perihal sekolah di masa yang akan datang, menurutnya akan berubah secara drastis. Secara fisik, sekolah tidak perlu lagi menyediakan sumber-sumber daya yang secara tradisional berisi bangunan-bangunan besar, tenaga yang banyak dan perangkat lainnya. Sekolah harus bekerja sama secara komplementer dengan sumber berguru lain terutama kemudahan Internet yang telah menjadi “sekolah maya”.
Bagaimanapun kemajuan teknologi informasi masa yang akan datang, keberadaan sekolah tetap akan diharapkan oleh masyarakat. Kita tidak sanggup menghapus sekolah, alasannya yaitu dengan alasan telah ada teknologi informasi yang maju. Ada sisi-sisi tertentu dari fungsi dan peranan sekolah yang tidak sanggup tergantikan, contohnya hubungan guru-murid dalam fungsi menyebarkan kepribadian atau membina huhungan sosial, rasa kebersamaan, kohesi sosial, Teknologi informasi hanya mungkin menjadi pengganti fungsi penyebaran informasi dan sumber berguru atau sumber materi ajar. Bahan didik yang semula disampaikan di sekolah secara klasikal, kemudian sanggup diubah menjadi pembelajaran yang diindividualisasikan melalui jaringan internet yang sanggup diakses oleh siapapun dari manapun secara individu. (Karsidi, 2004).
Inilah tantangan profesi guru. Apakah kiprahnya akan digantikan oleh teknologi informasi, atau guru yang memanfaatkan teknologi informasi untuk menunjang tugas profesinya. Dunia pendidikan harus menyiapkan seluruh unsur dalam sistem pendidikan supaya tidak tertinggal atau ditinggalkan oleh perkembangan teknologi informasi tersebut. Melalui penerapan dan pemilihan teknologi informasi, yang sempurna (sebagai bab dari teknologi pendidikan), maka perbaikan mutu yang berkelanjutan sanggup diharapkan. Perbaikan yang berlangsung terus menerus secara konsisten/konstan akan mendorong orientasi pada perubahan untuk memperbaiki secara terus menerus dunia pendidikan. Adanya revolusi informasi sanggup menjadi tantangan bagi forum pendidikan alasannya yaitu mungkin kita belum siap menyesuaikan. Sebaliknya, hal ini akan menjadi peluang yang baik bila forum pendidikan bisa menyikapi dengan penuh keterbukaan dan berusaha menentukan jenis teknologi informasi yang tepat, sebagai penunjang pencapaian mutu pendidikan.
Pemilihan jenis media sebagai bentuk aplikasi teknologi dalam pendidikan harus dipilih secara tepat, cermat dan sesuai kebutuhan, serta bermakna bagi peningkatan mutu pendidikan kita.
(2) Desentralisasi, Otonomi Daerah, dan Desentralisasi di Bidang Pendidikan
Desentralisasi, demokrasi, dan otonomi merupakan gosip yang amat terkenal pada akhir-akhir ini, khususnya di Indonesia sebagai efek reformasi di segala bidang, khususnya pula bidang pemerintahan. Isu semacam itu bukanlah sesuatu yang baru, alasannya yaitu sebelumnya gosip semacam itu telah usang dilontarkan bersamaan dengan keinginan mengganti sistem pemerintahan diktatorial yang berkembang di Eropa Tengah dan Timur pada selesai tahun 1989 dan awal tahun 1990 (David Held dalam Miftah Thoha, 1998).
Perubahan penataan administrasi pemerintahan tentu berakibat pula pada penataan administrasi pendidikan. Dasar penataan itu yaitu diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 perihal Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-undang itu disebutkan bahwa desentralisasi yaitu suatu azas dan proses pembentukan Otonomi Daerah dan atau penyerahan wewenang pemerintah di bidang tertentu oleh Pemerintah Pusat. Sejalan dengan itu ditegaskan pula bahwa otonomi kawasan yaitu kewenangan dan kebebasan kawasan otonom untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan berdasarkan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan masyarakat itu, ditegaskan pula bahwa kawasan dibuat berdasarkan kehendak masyarakat setempat dengan mempersyaratkan kemampuan ekonomi, potensi daerah, jumlah penduduk, luas daerah, pertahanan dan keamanan nasional dan banyak sekali syarat lain yang memungkinkan kawasan menyelenggarakan otonomi kawasan (Pasal 5 ayat 1 dan Pasal 7 ayat 1). Namun, kewenangan kawasan otonom itu mempunyai keterbatasan. Walaupun semua kewenangan diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah kawasan terdapat perkecualian kewenangan itu dalam bidang: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan kebijakan strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan (pasal 10). UU No.32 Tahun 2004 di atas, sekaligus pula menegaskan bahwa bidang pendidikan merupakan bidang yang termasuk dalam garapan kewenangan kawasan otonom atau penyerahan (pendelegasian) pemerintah pusat yang dikenal dengan desentralisasi.
Bagi pembelajar dan pengkaji administrasi pendidikan, desentralisasi di bidang pendidikan bukanlah suatu kajian yang baru. Sistem persekolahan di Amerika Serikat oleh faktor kesejarahannya telah usang menerapkan sistem desentralisasi dengan pemberian kewenangan pada local school district (Holmes, 1985). Desentralisasi administrasi pendidikan meliputi delegasi dari kewenangan pusat (central authority) kepada unit-unit sistem sekolah lokal dalam tanggung jawab fungsional dan pengambilan keputusan. Dalam sistem administrasi semacam itu dijumpai dua jenis eksekutif, yaitu individual school executive dan administrative district executive. Di hampir semua negara bagian, tanggung jawab organisasional dan administratif didelegasikan kepada local school district (Morphet dkk., 1982). Tentunya kita sanggup menggandakan model desentralisasi yang diterapkan dalam sistem persekolahan di Amerika Serikat itu, yang lebih dikenal dengan model: school site management (Guthrie, 1991). Namun, hal menarik yang merupakan unsur penting dalam desentralisasi yaitu diangkatnya tugas dan keterlibatan masyarakat dalam fungsi: community control dan community participation (Morphet dkk., 1982) yang sejalan dengan pernyataan UU No.32 Tahun 2004 perihal aspirasi masyarakat.
(3) Desentralisasi di Bidang Pendidikan
Sistem sentralisasi atau desentralisasi dalam penyelenggaraan atau administrasi pemerintahan mempunyai implikasi eksklusif terhadap penyelenggaraan pendidikan, sistem pendidikan nasional, dan administrasi pendidikan. Bidang-bidang yang terkait eksklusif dengan sistem itu yaitu kebijakan, pengawasan, mutu dan sumber dana pendidikan (Burhanuddin dkk., 1998).
Jika, desentralisasi mengandung makna pendelegasian wewenang, baik itu menyeluruh ataupun sebagian, maka desentralisasi di bidang pendidikan harus pula dipandang sebagai pendelegasian sebagian atau seluruh wewenang. Pendelegasian itu bisa berarti penyerahan wewenang dari pusat ke daerah, atau dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, atau dari unit ke unit di bawahnya, termasuk pula dari pemerintah ke masyarakat. Salah satu wujud desentralisasi yang dimaksud yaitu terlaksananya proses otonomi dalam penyelenggaraan pendidikan (Miftah Thoha, 1998). Namun, kewenangan itu perlu diklarifikasikan. Kewenangan begitu luasnya, menyerupai kewenangan merumuskan, menetapkan, melaksanakan hingga dengan melaksanakan penilaian terhadap suatu kebijakan yang jangkauannya bersifat nasional. Karena itu tidak seluruh kewenangan sanggup didesentralisasikan (Miftah Thoha, 1998).
Walaupun pemerintah kawasan mempunyai otonomi untuk merumuskan, melaksanakan, bahkan mengevaluasi suatu kebijakan, maka disinilah letaknya peranan penjelasan yang memutuskan banyak sekali aspek pendidikan yang sanggup didelegasikan, yang pada penyelenggaraannya terlepas dari campur tangan pemberi wewenang atau delegasi. Walaupun undang-undang yang memperlihatkan peluang untuk dilaksanakannya otonomi kawasan atau desentralisasi di bidang pendidikan, namun masih diharapkan pengkajian dan pengaturan untuk mengurangi benturan pelaksanaan di lapangan. Karena itu, UU tersebut memerlukan peraturan pelaksanaan.
(4) Otonomi Daerah dan Desentralisasi Pendidikan
Kini, paradigma pembangunan yang secara umum dikuasai telah mulai bergeser ke paradigma desentralistik. Sejak diundangkan UU No.32/2004 perihal Pemda maka menandai perlunya desentralisasi dalam banyak urusan yang semula dikelola secara sentralistik. Menurut Tjokroamidjoyo (dalam Jalal dan Supriyadi, 2001), bahwa salah satu tujuan dari desentralisasi yaitu untuk meningkatkan pengertian rakyat serta sumbangan mereka dalam kegiatan pembangunan dan melatih rakyat untuk sanggup mengatur urusannya sendiri. Ini artinya, bahwa kemauan berpartisipasi masyarakat dalam pembangunan (termasuk dalam pengembangan pendidikan) harus ditumbuhkan dan ruang partisipasi perlu dibuka selebar-lebarnya.
Bergesernya paradigma pembangunan yang sentralistik ke desentralistik telah mengubah cara pandang penyelenggara negara dan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan. Pembangunan harus dipandang sebagai bab dari kebutuhan masyarakat itu sendiri dan bukan semata kepentingan negara. Pembangunan seharusnya mengandung arti bahwa insan ditempatkan pada posisi pelaku dan sekaligus akseptor manfaat dari proses mencari solusi dan meraih hasil pembangunan untuk dirinya dan lingkungannya dalam arti yang lebih luas. Dengan demikian, masyarakat harus bisa meningkatkan kualitas kemandirian mengatasi duduk masalah yang dihadapinya, baik secara individual maupun secara kolektif.
Belajar dari pengalaman bahwa dikala tugas pemerintah sangat secara umum dikuasai dan tugas serta masyarakat hanya dipandang sebagai kewajiban, maka masyarakat justru akan terpinggirkan dari proses pembangunan itu sendiri. Penguatan partisipasi masyarakat haruslah menjadi bab dari agenda pembangunan itu sendiri, lebih-lebih dalam kurun globalisasi. Peran serta masyarakat harus lebih dimaknai sebagai hak daripada sekadar kewajiban. Kontrol rakyat (anggota masyarakat) terhadap isi dan prioritas agenda pengambilan keputusan pembangunan harus dimaknai sebagai hak masyarakat untuk ikut mengontrol agenda dan urutan prioritas pembangunan, bagi dirinya atau kelompoknya. (Karsidi, 2004).
Desentralisasi yaitu penyerahan sebagian otoritas pemerintah pusat ke daerah, untuk mendistribusikan beban pemerintah pusat ke kawasan sehingga kawasan dan masyarakatnya ikut menanggung beban tersebut. Tujuannya adalah: (1) mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan perihal masalah-masalah kecil di tingkat lokal, (2) meningkatkan partisipasi masyarakat, (3) menyusun program-program perbaikan pada tingkat lokal yang lebih realistik, (4) melatih rakyat mengatur urusannya sendiri, (5) membina kesatuan nasional yang merupakan motor pencetus memberdayakan daerah. Dalam desentralisasi pendidikan, pemerintah pusat lebih berperan dalam menghasilkan budi fundamental (menetapkan standar mutu pendidikan secara nasional), sementara budi operasional yang menyangkut variasi keadaan kawasan didelegasikan kepada pejabat kawasan bahkan sekolah.
Kurikulum dan proses pendidikan dalam kerangka otonomi daerah, ada bab yang perlu dibakukan secara nasional, tetapi hanya terbatas pada beberapa aspek pokok, yaitu: (1) Substansi pendidikan yang berada dibawah tanggungjawab pemerintah, menyerupai PKN, Sejarah Nasional, Pendidikan Agama, dan Bahasa Indonesia; (2) Pengendalian mutu pendidikan, berdasarkan standar kompetensi minimum; (3) Kandungan konten setiap bidang studi, khususnya yang menyangkut ilmu-ilmu dasar; (4) Standar-standar teknis yang ditetapkan berdasarkan standar mutu pendidikan.
Program-program pembelajaran di sekolah berupa desain kurikulum dan pelaksanaannya, kegiatan-kegiatan nonkurikuler hingga pada pengadaan kebutuhan sumber daya untuk suatu sekolah supaya sanggup berjalan lancar, sepertinya harus sudah mulai diberikan ruang partisipasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Demikian pula di lembaga-lembaga pendidikan lainnya non sekolah, ruang partisipasi tersebut harus dibuka lebar supaya tanggung jawab pengembangan pendidikan tidak tertumpu pada forum pendidikan itu sendiri, lebih-lebih pada pemerintah sebagai penyelenggara negara.
Cara untuk penyaluran partisipasi sanggup diciptakan dengan banyak sekali variasi cara sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah atau komunitas tempat masyarakat dan forum pendidikan itu berada. Kondisi ini menuntut kesigapan para pemegang kebijakan dan manajer pendidikan untuk mendistribusi tugas dan kekuasaannya supaya bisa menampung sumbangan partisipasi masyarakat. Sebaliknya, dari pihak masyarakat (termasuk orang renta dan kelompok-kelompok masyarakat) juga harus berguru untuk kemudian bisa mempunyai kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan.
Sebagai teladan perihal partisipasi dunia usaha/industri pada kurun otonomi daerah. Mereka tidak bisa tinggal membisu menunggu dari suatu forum pendidikan/sekolah hingga sanggup meluluskan alumninya, kemudian menggunakannya jikalau menghasilkan output yang baik dan mengkritiknya jikalau terdapat output yang tidak baik. Partisipasi dunia usaha/industri terhadap forum pendidikan harus ikut bertanggung jawab untuk menghasilkan output yang baik sesuai dengan rumusan keinginan bersama. Demikian juga kelompok-kelompok masyarakat lain, termasuk orang renta siswa. Dengan cara menyerupai itu, maka mutu pendidikan suatu forum pendidikan akan menjadi tanggung jawab bersama antara forum pendidikan dan komponen-komponen lainnya di masyarakat.
Belum ada Komentar untuk "✔ Beberapa Faktor Yang Menjadi Tantangan Profesi Guru"
Posting Komentar