✔ Karakteristik Sekolah Dasar Yang Baik

Karakteristik Sekolah Dasar Yang Baik - .  Secara umum, tujuan manajemen sekolah dasar yaitu mewujudkan sekolah dasar sebagai forum pendidikan yang baik, yaitu efektif dan efisien. Efektif berarti mencapai tujuan, sedangkan efisien dalam arti  umum bermakna hemat.  Jadi  ada  dua tujuan pokok dengan diterapkannya manajemen dalam suatu penyelesaian pekerjaan, organisasi, instansi, atau lembaga.

Pertama, tujuan  manajemen itu diupayakan dalam rangka mencapai efektivitas.  Suatu acara kerja dikatakan efektif apabila acara kerja tersebut sanggup mencapai tujuan. Dengan kata lain, tujuan diterapkannya manajemen pada sebuah acara yaitu biar acara tersebut sanggup mencapai tujuan. Kedua, manajemen itu dilakukan dalam rangka mencapai efisiensi dalam pelaksanaan setiap program. Efisiensi merupakan suatu konsepsi perbandingan  antara pelaksanaan satu acara dengan hasil selesai yang diraih atau dicapai.

Menurut The Liang Gie (1983), perbandingan tersebut sanggup dilihat dari  dua segi, yaitu segi pelaksanaan acara dan segi hasil. Apabila ditinjau  dari  segi pelaksanaannya,  sebuah program  sanggup dikatakan  efisien apabila jadinya sanggup dicapai melalui upaya yang sekecil-kecilnya dan sehemat-hematnya. Upaya yang dimaksudkan  di sini yaitu penggunaan komponen, ibarat tenaga, waktu pelaksanaan, sarana   prasarana, dan keuangan. Ditinjau  dari segi hasil, penyelenggaraan sebuah acara sanggup dikatakan efisien apabila dengan  perjuangan tertentu memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya.  Sekali lagi dijelaskan bahwa yang dimaksudkan  upaya di sini yaitu penggunaan komponen, seperti: tenaga, waktu pelaksanaan, sarana   prasarana, dan keuangan. Kaprikornus apabila dengan tenaga, waktu, sarana, uang yang cukup sanggup menghasilkan suatu produk yang banyak, maka itulah yang disebut dengan efisien. Jika sebaliknya, dengan tenaga, waktu, sarana, dan uang yang cukup menghasilkan produk yang sedikit, maka itulah yang disebut dengan tidak efisien atau inefisiensi.

Perihal sekolah yang baik, ada juga pakar yang menyampaikan bahwa manajemen sekolah dilakukan dalam rangka mewujudkan sekolah dasar yang bermutu. Sekolah dasar sanggup dikatakan bermutu baik apabila bisa mengemban misinya dalam rangka mencapai tujuan kelembagaannya.

Baca Juga: Karakteristik Sekolah Unggul

Sepanjang perkembangan teori manajemen pendidikan ada dua model teoritik sebagai pendekatan yang sangat mempunyai kegunaan dalam memutuskan sekolah yang baik, sebagaimana dikemukakan oleh Hoy dan Ferguson (1985), yaitu model tujuan dan model sistem. Pertama yaitu model tujuan, atau disebut juga dengan pendekatan pencapaian-tujuan. Model tersebut berdasarkan pada pandangan tradisional perihal keefektifan organisasi. Dalam pandangan tradisional organisasi dikatakan efektif apabila ia mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Sergiovanni, 1987), sehingga pengukurannya melalui cara melihat tujuan-tujuan operasional yang telah dicapai dari organisasi (Daft & Steers, 1986).

Sekolah intinya juga merupakan sebuah organisasi. Dengan demikian, sekolah sanggup dikatakan baik apabila mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Biasanya tingkat pencapaian ditandai dengan prestasi lulusan sekolah dalam bidang ketrampilan dasar yang diukur melalui tes prestasi terstandar (Frymier, dkk., 1984; Sergiovanni, 1984). Dengan demikian, apabila dipakai pendekatan tujuan, maka prestasi siswa memainkan peranan penting dalam memutuskan baik tidaknya sebuah sekolah. Banyak sekali penelitian perihal keefektifan sekolah dengan memakai pendekatan atau model tujuan tersebut, yang menyandarkan penetapannya semata-mata kepada prestasi siswa, sebagaimana diukur melalui tes terstandar sebagai kriteria keefektifannya (Frymier, dkk., 1984; Hoy & Ferguson, 1985; Sergiovanni, 1987). Penelitian populer yang dilakukan oleh Edmons (1979), begitu pula oleh Brookover dan Lezotte (1979) perihal keefektifan sekolah dasar merupakan dua pola di antaranya. Mereka (para penganjurnya) mempunyai perkiraan bahwa sekolah memang mempunyai banyak tujuan. Namun berapapun banyaknya, berdasarkan mereka sekolah tidak akan dikatakan baik oleh siswa, orang tua, dan masyarakat lainnya, selama sekolah tersebut tidak sukses dalam mengajarkan ketrampilan-ketrampilan dasar. Sementara satu lagi bagi popularitas model atau pendekatan tujuan ini yaitu kemudahan peneliti dalam mendefinisikan dan mengukur keefektifan sekolah sebagai sebuah institusi  (Sergiovanni, 1987). Namun penyandaran penetapan keefektifan suatu sekolah pada prestasi siswa semata, sebagaimana diukur melalui tes prestasi akademik terstandar, telah banyak dikecam. Kelemahan pertama terletak pada pendefinisian keefektifannya yang sangat sempit, dimana keefektifan sekolah diukur hanya dari satu dimensi, prestasi akademik siswa. Kedua, walaupun pendekatan tersebut didasarkan pada asumsi-asumsi yang logis dan dianggap penting, namun keberlangsungannya sangat terancam, lantaran dalam rangka menerapkannya sekolah harus dalam kondisi: mempunyai tujuan, tujuan tersebut harus diidentifikasi dan didefinisikan cukup tegas sehingga dimengerti dan disepakati oleh kepala sekolah, supervisor, dan guru; dan mereka sendiri harus bisa mengukur perkembangan pencapaiannya. Padahal dalam kenyataan sehari-hari kondisi tersebut sering kali tidak ditemukan di sekolah-sekolah.

Model kedua yaitu model sistem, atau disebut juga dengan pendekatan proses atau pendekatan multi-dimensional. Model tersebut berdasarkan pada konsep sistem terbuka, biasa dipakai khususnya oleh para analis yang memandang organisasi sebagai sebuah sistem terbuka yang terdiri dari masukan, transformasi, dan keluaran (Hoy dan Miskel, 1982). Dalam perspektif model sistem keefektifan organisasi dilihat dari bukan tingkat pencapaian tujuannya, sebagaimana dalam perspektif model tujuan di muka, melainkan konsistensi internal, efisiensi penggunaan semua sumber yang ada, dan kesuksesan dalam mekanisme kerjanya. Ada dua perkiraan yang mendasarinya. Pertama, organisasi merupakan sebuah sistem terbuka yang harus bisa memanfaatkan dan merefleksikan lingkungan sekitarnya. Kedua, organisasi merupakan sebuah sistem yang dinamis, dan begitu menjadi besar maka kebutuhannya semakin kompleks, sehingga mustahil didefinisikan hanya melalui sejumlah kecil tujuan organisasi yang bermakna. Berorientasi pada model sistem maka baik tidaknya sekolah dilihat bukan dari tingkat pencapaian tujuannya, melainkan proses dan kondisinya yang disebut dengan karakteristik sekolah. Dalam pada itu ada dua karakteristik sekolah sebagaimana dikemukakan oleh Owens (1987). Pertama, karakteristik internal sekolah, yang meliputi, antara lain: gaya kepemimpinan, proses komunikasi, sistem supervisi dan evaluasi, sistem pengajaran, kedisiplinan, dan proses pembuatan keputusan. Kedua, karakteristik eksternal. Karakteristik eksternal merupakan karakteristik situasi didalam mana sekolah sebagai sebuah organisasi berada dan terletak. Sudah barang tentu yang demikian itu meliputi karakteristik masyarakat, ibarat kekayaan, tradisi sosio-kultural, struktur kekuatan politik, dan demografinya.

Model sistem sebagai suatu perspektif dalam menentukan baik-tidaknya sekolah telah banyak dikenal dan diterima oleh peneliti manajemen pendidikan (Sergiovanni & Starratt, 1983). Asumsi mereka yaitu bahwa ada korelasi antara karakteristik sekolah dengan kualitas keluaran siswa. Beberapa hasil penelitian juga memperlihatkan adanya korelasi demikian. Austin (1979) misalnya, dalam penelitiannya menemukan bahwa sekolah-sekolah yang kepemimpinan kepala sekolahnya terlibat dalam pemrograman pengajaran cenderung mempunyai siswa dengan  prestasi lebih tinggi   dibandingkan dengan sekolah-sekolah yang tidak atau kurang mempunyai karakteristik tersebut. Sementara Rutter (1979) pada selesai penelitiannya menyimpulkan bahwa iklim dan kepemimpinan sekolah yaitu alat yang penting bagi peningkatan kualitas keluaran siswa. Oleh lantaran itu mereka (para peneliti manajemen pendidikan) menegaskan bahwa kepala sekolah memang bisa menghipnotis kualitas keluaran siswa, tetapi harus melalui santunan perhatian sebaik mungkin pada pelatihan proses dan kondisi yang mempertinggi kualitas keluaran siswa.

Walaupun model sistem sebagai suatu pendekatan dalam menentukan baik-tidaknya sekolah telah diterima oleh banyak peneliti manajemen pendidikan, namun model sistem tersebut diduga keras mempunyai beberapa kelemahan, terutama apabila diaplikasikan di dalam forum pendidikan (Hoy & Miskel, 1982). Pertama, dengan terlalu menekankan pada masukan, alat, dan proses di dalam melihat baik-tidaknya sekolah sebagaimana model sistem, maka problem keluarannya cenderung terabaikan.

Sejarah perkembangan teori manajemen pendidikan memperlihatkan bahwa pada tahun 1960-an begitu banyak perhatian diberikan kepada proses dan alat, ibarat iklim sekolah, gaya dan karakteristik kepemimpinan, praktek pembuatan keputusan, dan taktik pemecahan konflik, sehingga dengan tidak disadari topik-topik perihal berguru siswa dan keluaran siswa terabaikan (Sergiovanni, 1987). Kedua, lantaran memperhatikan peningkatan masukan merupakan tujuan operatif bagi organisasi, berarti model sistem itu intinya merupakan model tujuan.

Di atas telah dipaparkan dua model teoretik dalam memutuskan sekolah yang baik atau efektif. Kedua model teoretik tersebut memang tampak berbeda. Model tujuan lebih menekankan pada keberhasilan pencapaian tujuan dalam memutuskan baik-tidaknya sekolah, sementara model sistem lebih memperhatikan karakteristik proses dan kondisi ibarat konsistensi internal, kesuksesan mekanisme kerja, dan efisiensi dalam mendayagunakan semua sumber yang tersedia dalam memutuskan baik-tidaknya sekolah.

Walaupun begitu keduanya tidak perlu dipertentangkan. Keduanya saling melengkapi satu sama lain, sehingga mungkin dan perlu dikombinasikan yang sanggup menghasilkan satu konsep perihal sekolah yang baik. Sergiovanni (1987) pun menganjurkan biar para kepala sekolah, pakar, dan peneliti tidak menentukan salah satu di antaranya melainkan keduanya. Lebih lanjut berdasarkan Sergiovanni, apabila pendekatan tujuan dikombinasikan dengan pendekatan sistem, maka siapapun orangnya akan lebih komprehensif dalam memahami kesuksesan sekolah. Berikut ini dikedepankan dua teori yang mengkombinasikan model tujuan dan model sistem. Pertama dikembangkan oleh Parsons (1960) dan kedua dikembangkan oleh Postman dan Weingartner (1979).

Parsons (1960) telah berbagi sebuah model keefektifan organisasi yang mengkombinasikan kedua model atau pendekatan tujuan dan sistem di atas. Model Parsons menegaskan bahwa keefektifan organisasi itu sanggup dilihat dari empat dimensi, yaitu: (1) adaptasi; (2) pencapaian tujuan; (3) integrasi; dan (4) latensi.
Asumsi dasarnya yaitu bahwa semua sistem sosial, apabila ingin hidup dan berkembang, harus bisa memecahkan empat masalah, yaitu masalah-masalah pengakomodasian lingkungan, penetapan dan pencapaian tujuan, pemeliharaan solidaritas antar komponen sistem, dan penciptaan serta pemeliharaan sistem motivasional  dan pola-pola nilai. Menurut Parsons, apabila organisasi bisa menuntaskan dengan sebaik-baiknya keempat problem tersebut, maka organisasi tersebut sanggup dikatakan efektif atau baik.

Berdasarkan kerangka berfikir Parsons di atas Hoy dan Miskel (1987) mengajukan empat dimensi keefektifan sekolah: adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan latensi. Dari dimensi adaptasi, baik-tidaknya sekolah dilihat dalam korelasi dengan penyesuaian diri terhadap tuntutan lingkungannya; dari dimensi pencapaian tujuan, baik tidaknya sekolah diukur dengan dicapainya tujuan pendidikan; dari dimensi integrasi, baik-tidaknya sekolah dikaitkan dengan dipertahankannya solidaritas dan kekohesifan unsur-unsur sistem; dan dari dimensi latensi, baik tidaknya sekolah dinilai pada terciptanya dan dipertahankannya komitmen organisasional sekolah.

Dua orang pakar lainnya yang pernah mengemukakan secara lengkap dengan mengkombinasikan model tujuan dan model sistem perihal indikator sekolah yang baik yaitu Postman dan Weingartner (1979). Menurut mereka sekolah sebagai institusi mempunyai seperangkat fungsi esensial,   yang   harus dimiliki oleh setiap sekolah. Fungsi-fungsi esensial tersebut meliputi: (1) penstrukturan waktu; (2) penstrukturan kegiatan yang harus diikuti siswa; (3) pendefinisian kecerdasan, kemampuan intelektual, prestasi, dan sikap yang baik; (4) penilaian; (5) pemisahan kiprah dan tanggung jawab antara guru dan siswa; (6) supervisi dan pengawasan terhadap siswa; dan (7) pertanggung-jawaban. Di samping fungsi-fungsi esensial, berdasarkan Postman & Weingartner, ada juga   konvensi, yaitu prosedur-prosedur yang diikuti sekolah untuk memenuhi ketujuh fungsi esensialnya. Konvensi ini intinya melayani fungsi-fungsi esensial sehingga fungsi-fungsi esensial tersebut betul-betul menciptakan sekolah bisa memperlihatkan pengalaman berguru yang berharga bagi siswa. Sebagai pola yaitu penstrukturan waktu yang merupakan fungsi esensial pertama. Setiap sekolah mempunyai waktu kapan sekolah mulai dan berakhir. Sekolah juga mempunyai waktu kapan aktivitas-aktivitas tertentu dilaksanakan dan waktunya niscaya berbeda antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya. Tanpa pengaturan waktu kita tidak mempunyai sekolah. Sedangkan konvensi yaitu cara-cara khusus di sekolah untuk mengatur waktu sepuluh bulan dalam setahun, enam hari dalam seminggu, enam jam dalam sehari, dan empat puluh menit dalam satu jam pelajaran.

Lebih lanjut, berdasarkan Postman dan Weingartner,  konvensilah yang bekerjsama merupakan obyek perubahan organisasional sekolah. Menurut mereka sebuah sekolah dinilai baik apabila konvensinya secara konkret meningkatkan pengalaman berguru yang berharga bagi siswa. Akhirnya berdasarkan semua inilah Postman dan Weingartner mendeskripsikan ciri-ciri sekolah yang baik sebagai berikut.
1.    Ditinjau dari penstrukturan waktunya sekolah sanggup dikatakan baik apabila:
a.    sekuensi waktu sehari di sekolah itu tidak diktatorial (45 menit untuk ini, 45 menit untuk itu, dan seterusnya), melainkan didasarkan pada apa yang perlu dilakukan siswa;
b.    antara satu orang siswa dan siswa lainnya di sekolah tidak diharuskan mengerjakan hal yang sama dalam jangka  waktu yang sama;
c.    siswa tidak dituntut semata-mata untuk mematuhi waktu dalam pelajaran, melainkan menguasai keterampilan;
d.    siswa diarahkan untuk mengorganisasi waktunya sendiri.

2.    Ditinjau dari penstrukturan aktivitasnya, sekolah sanggup dikatakan baik apabila:
a.    aktivitas-aktivitasnya diubahsuaikan dengan kebutuhan siswa secara perorangan;
b.    antara satu orang siswa dan siswa lainnya tidak dituntut untuk mengikuti kegiatan yang sama;
c.    sekolah mengakui bahwa proses berguru mengajar hampir tidak bernilai bagi siswa apabila dirinya kurang dilibatkan di dalamnya;
d.    aktivitasnya merupakan kegiatan siswa;
e.    aktivitasnya tidak terbatas pada sebuah gedung, melainkan juga meliputi semua sumber pada masyarakat;
f.    aktivitas-aktivitasnya memenuhi semua perbedaan latar belakang dan kemampuan siswa.

3.    Ditinjau dari pendefinisian kecerdasan, pengetahuan, atau perilaku, sekolah sanggup dikatakan baik apabila:
a.    proses berguru mengajar yang dikelolanya lebih menekankan pada proses inkuiri, pemecahan masalah, dan penelitian daripada memorisasi;
b.    siswanya dijauhkan dari kebiasaan mendapatkan pelajaran secara pasif;
c.    banyak sekali keterampilan berkomunikasi dilatihkan kepada siswa;
d.    kepada siswanya selalu ditekankan untuk memakai ilmu dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar memperoleh ilmu demi ilmu;
e.    personilnya mengakui adanya perkembangan pengetahuan di banyak sekali bidang dan mencoba mempertimbangkannya dalam mendefinisikan pengetahuan;
f.    pengetahuan diri sendiri merupakan bab dari definisi pengetahuannya.

4.    Ditinjau dari evaluasi, sekolah sanggup dikatakan baik apabila dalam proses evaluasinya:
a.    lebih menekankan pada upaya memperlihatkan balikan yang mendorong;
b.    dipakai pendekatan yang humanistik dan perorangan;
c.    meliputi aspek yang komprehensif;
d.    terlebih dahulu dibuatkan seeskplisit mungkin jenis sikap yang diinginkan sekolah;
e.    kurang dipakai tes terstandar;
f.    khusus dalam mengevaluasi guru dan direktur dipakai prosedur-prosedur yang konstruktif.

5.    Ditinjau dari supervisi dan pengawasan siswa, sekolah sanggup dikatakan baik apabila:
a.    guru dan siswanya melaksanakan upaya-upaya yang kolaboratif;
b.    siswanya diberi kesempatan untuk mensupervisi dirinya sendiri;
c.    jumlah siswa yang ditangani seorang supervisor tidak banyak, sehingga problem personalnya bisa ditangani.

6.    Ditinjau dari perbedaan kiprah sekolah sanggup dikatakan baik apabila:
a.    semua gurunya selalu berbagi wangsit mengenai masyarakat berguru dimana fungsi guru lebih sebagai seorang koordinator dan fasilitator;
b.    banyak sekali kiprah mengajar didalamnya tidak dimainkan hanya oleh guru;
c.    banyak sekali kiprah mengajar diorganisasikan dan kemudian ditugaskan sesuai dengan kemampuan guru;
d.    siswanya dianggap bukan sebagai obyek pada setiap aktivitas, melainkan didorong untuk aktif membentuk pengalamannya sendiri;
e.    siswa tidak secara konstan ditempatkan dalam peran-peran konpetitif, melainkan juga kolaboratif.

7.    Di tinjau dari pertanggungjawaban terhadap masyarakat, sekolah sanggup dikatakan baik apabila personelnya:
a.    lebih menekankan pada partisipasi masyarakat daripada paternalistik birokratik;
b.    tidak takut mempertanggungjawabkan performansinya.

8.    Ditinjau dari pertanggungjawaban terhadap masa depan, sekolah sanggup dikatakan baik apabila personelnya:
a.    mempunyai konsep perihal pengetahuan, sikap, dan ketrampilan yang diorientasikan pada masa depan;
b.    menginterpretasikan tanggung jawabnya pada masa depan sebagai tanggung jawab kepada siswa, gres kemudian kepada institusi sosial.

Belum ada Komentar untuk "✔ Karakteristik Sekolah Dasar Yang Baik"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel