✔ Pengertian, Kedudukan Dan Fungsi Kerjasama Dalam Organisasi Sekolah
Kerja sama merupakan salah satu fitrah insan sebagai mahluk sosial. Kerja sama mempunyai dimensi yang sangat luas dalam kehidupan manusia, baik terkait tujuan positif maupun negatif. Dalam hal apa, bagaimana, kapan dan di mana seseorang harus berhubungan dengan orang lain tergantung pada kompleksitas dan tingkat kemajuan peradaban orang tersebut. Semakin modern seseorang, maka ia akan semakin banyak bekerja sama dengan orang lain, bahkan seakan tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu tentunya dengan pemberian perangkat teknologi yang modern pula.
Bentuk kerjasama sanggup dijumpai pada semua kelompok orang dan usia. Sejak masa kanak-kanak, kebiasaan berhubungan sudah diajarkan di dalam kehidupan keluarga. Setelah dewasa, kerjasama akan semakin berkembang dengan banyak orang untuk memenuhi aneka macam kebutuhan hidupnya.
Pada taraf ini, kerjasama tidak hanya didasarkan kekerabatan kekeluargaan, tetapi semakin kompleks. Dasar utama dalam kolaborasi ini yaitu keahlian, di mana masing-masing orang yang mempunyai keahlian berbeda, bekerja bersama menjadi satu kelompok/tim dalam menyeleseaikan sebuah pekerjaan. Kerja sama tersebut adakalanya harus dilakukan dengan orang yang sama sekali belum dikenal, dan begitu berjumpa eksklusif harus bekerja bersama dalam sebuah kolempok. Oleh sebab itu selain keahlian juga dibutuhkan kemampuan pembiasaan diri dalam setiap lingkungan atau bersama segala kawan yang dijumpai.
Dari sudut pandang sosiologis, pelaksanaan kerjasama antar kelom- pok masyarakat ada tiga bentuk (Soekanto, 1986: 60-63) yaitu: (a) bargaining yaitu kerjasama antara orang per orang dan atau antarkelompok untuk mencapai tujuan tertentu dengan suatu perjanjian saling menukar barang, jasa, kekuasaan, atau jabatan tertentu, (b) cooptation yaitu kerjasama dengan cara rela mendapatkan unsur-unsur gres dari pihak lain dalam organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya keguncangan stabilitas organisasi, dan (c) coalition yaitu kerjasama antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan yang sama. Di antara oganisasi yang berkoalisi mempunyai batas-batas tertentu dalam kerjasama sehingga jati diri dari masing-masing organisasi yang berkoalisi masih ada. Bentuk-bentuk kerjasama di atas biasanya terjadai dalam dunia politik.
Selain pandangan sosiologis, kerjasama sanggup pula dilihat dari sudut administrasi yaitu dimaknai dengan istilah collaboration. Makna ini sering dipakai dalam terminologi administrasi pemberdayaan staf yaitu satu kerjasama antara manajer dengan staf dalam mengelola organisasi. Dalam administrasi pemberdayaan, staf bukan dianggap sebagai bawahan tetapi dianggap kawan kerja dalam perjuangan organisasi (Stewart, 1998; 88).
Kerjasama (collaboration) dalam pandangan Stewart merupakan potongan dari kecakapan ”manajemen baru” yang belum nampak pada manaje- men tradisional. Dalam administrasi tradisional terdapat tujuh kecakapan/ proses aktivitas manajerial yaitu perencanaan (planning), komunikasi (com- municating), koordinasi (co-ordinating), memotivasi (motivating), pengen-dalian (controlling), mengarahkan (directing), dan memimpin (leading).
Adalah tidak sanggup dipungkiri bahwa kecakapan-kecakapan di atas menyerupai merencanakan, mengkomunikasikan, mengkoordinasikan, dan memo- tivasi perlu dikuasai oleh seorang manajer. Namun demikian, untuk kecakap- an yang ketiga terakhir yaitu mengendalikan, mengarahkan, dan memimpin dianggap ”sudah tidak efektif lagi”. Menurut Stewart perlu seperangkat kecakapan gres yang perlu dikuasai oleh manajer abad gres yaitu harus bisa membuat bisa (enabling), memperlancar (facilitating), berkonsultasi (consulting), berhubungan (collaborating), membimbing (mentoring), dan mendukung (supporting).
Dalam bersosialisasi dan berorganisasi, berhubungan mempunyai kedu- dukan yang sentral sebab esensi dari kehidupan sosial dan berorganisasi yaitu kesepakatan bekerjasama. Tidak ada organisasi tanpa kerjasama. Bahkan dalam pemberdayaan organisasi, kerjasama yaitu tujuan final dari setiap jadwal pemberdayaan. Manajer akan ditakar keberhasilannya dari seberapa bisa ia membuat kerjasama di dalam organisasi (intern), dan menjalin kolaborasi dengan pihak-pihak di luar organisasi (ekstern).
Prinsip-prinsip organisasi yang selama ini dikembangkan, hakikatnya merupakan perwujudan bentuk kolaborasi yang dilembagakan, di mana setiap orang dalam organisasi tersebut mengakui dan tunduk terhadap organi-sasi. Prinsip-prinsip tersebut tentunya merupakan hasil penelaahan yang usang dan mendalam wacana interaksi insan dalam organisasi, sehingga dinyata- kan sebagai sesuatu yang hampir pasti keberadaannya, yaitu:
Kelima prinsip di atas merupakan perwujudan kolaborasi antarindividu, yang telah dibingkai dalam organisasi. Chester I. Barnard mengemukakan bahwa organisasi yaitu sistem kerjasama antara dua orang atau lebih (Djatmiko, 2002; 1). James D. Mooney juga beropini bahwa organisasi yaitu setiap bentuk kerjasama untuk pencapaian tujuan bersama.
Sekolah yaitu sebuah oganisasi. Di dalam sekolah terdapat struktur organisasi, mulai kepala sekolah, wakil kepala, dewan guru, staf, komite sekolah, dan tentu saja siswa-siswi. Dalam sekolah terdapat kurikulum dan pembelajaran, biaya, sarana, dan hal-hal lain yang harus direncanakan, dilaksankan, dipimpin, dan diawasi. Semuanya itu bermuara pada kekerabatan kolaborasi atau human relation.
Dalam proses pelatihan atau supervisi, pengawas diharapkan sanggup menjalin kerjasama yang serasi dan egaliter yaitu tidak mengedepankan kewenangan yang dimilikinya. Pendekatan otoritas dalam interaksi dengan bawahan di abad kini ini sudah kurang relevan. Yang lebih mengena yaitu adalah pendekatan kolegial, di mana pengawas menempatkan diri sebagai kawan sekolah dalam mencapai kemajuan.
Dewasa ini, kata “perintah, petunjuk dan pengarahan” sudah tidak terkenal lagi, digantikan oleh kata pemberdayaan dan pendampingan. Dalam hal ini kesan kolaborasi lebih terasa.
Pengawas harus mengambil posisi sebagai kawan bagi kepala sekolah dan komite sekolah dalam menjalankan tugasnya. Yang dimaksud pemberda- yaan sekolah yaitu membuat bisa (enabling) sekolah dalam menjalankan tugasnya dengan cara memperlancar (facilitating), menyediakan waktu dan tenaga untuk berlangsungnya proses konsultasi (consulting), membina berhubungan (collaborating), membimbing (mentoring), dan mendukung (supporting) jadwal positif sekolah.
Sumber:
Anonim. 2008. Menumbuhkan Semangat Kerja Sama. Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.
Bentuk kerjasama sanggup dijumpai pada semua kelompok orang dan usia. Sejak masa kanak-kanak, kebiasaan berhubungan sudah diajarkan di dalam kehidupan keluarga. Setelah dewasa, kerjasama akan semakin berkembang dengan banyak orang untuk memenuhi aneka macam kebutuhan hidupnya.
Pada taraf ini, kerjasama tidak hanya didasarkan kekerabatan kekeluargaan, tetapi semakin kompleks. Dasar utama dalam kolaborasi ini yaitu keahlian, di mana masing-masing orang yang mempunyai keahlian berbeda, bekerja bersama menjadi satu kelompok/tim dalam menyeleseaikan sebuah pekerjaan. Kerja sama tersebut adakalanya harus dilakukan dengan orang yang sama sekali belum dikenal, dan begitu berjumpa eksklusif harus bekerja bersama dalam sebuah kolempok. Oleh sebab itu selain keahlian juga dibutuhkan kemampuan pembiasaan diri dalam setiap lingkungan atau bersama segala kawan yang dijumpai.
Dari sudut pandang sosiologis, pelaksanaan kerjasama antar kelom- pok masyarakat ada tiga bentuk (Soekanto, 1986: 60-63) yaitu: (a) bargaining yaitu kerjasama antara orang per orang dan atau antarkelompok untuk mencapai tujuan tertentu dengan suatu perjanjian saling menukar barang, jasa, kekuasaan, atau jabatan tertentu, (b) cooptation yaitu kerjasama dengan cara rela mendapatkan unsur-unsur gres dari pihak lain dalam organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya keguncangan stabilitas organisasi, dan (c) coalition yaitu kerjasama antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan yang sama. Di antara oganisasi yang berkoalisi mempunyai batas-batas tertentu dalam kerjasama sehingga jati diri dari masing-masing organisasi yang berkoalisi masih ada. Bentuk-bentuk kerjasama di atas biasanya terjadai dalam dunia politik.
Selain pandangan sosiologis, kerjasama sanggup pula dilihat dari sudut administrasi yaitu dimaknai dengan istilah collaboration. Makna ini sering dipakai dalam terminologi administrasi pemberdayaan staf yaitu satu kerjasama antara manajer dengan staf dalam mengelola organisasi. Dalam administrasi pemberdayaan, staf bukan dianggap sebagai bawahan tetapi dianggap kawan kerja dalam perjuangan organisasi (Stewart, 1998; 88).
Kerjasama (collaboration) dalam pandangan Stewart merupakan potongan dari kecakapan ”manajemen baru” yang belum nampak pada manaje- men tradisional. Dalam administrasi tradisional terdapat tujuh kecakapan/ proses aktivitas manajerial yaitu perencanaan (planning), komunikasi (com- municating), koordinasi (co-ordinating), memotivasi (motivating), pengen-dalian (controlling), mengarahkan (directing), dan memimpin (leading).
Adalah tidak sanggup dipungkiri bahwa kecakapan-kecakapan di atas menyerupai merencanakan, mengkomunikasikan, mengkoordinasikan, dan memo- tivasi perlu dikuasai oleh seorang manajer. Namun demikian, untuk kecakap- an yang ketiga terakhir yaitu mengendalikan, mengarahkan, dan memimpin dianggap ”sudah tidak efektif lagi”. Menurut Stewart perlu seperangkat kecakapan gres yang perlu dikuasai oleh manajer abad gres yaitu harus bisa membuat bisa (enabling), memperlancar (facilitating), berkonsultasi (consulting), berhubungan (collaborating), membimbing (mentoring), dan mendukung (supporting).
Dalam bersosialisasi dan berorganisasi, berhubungan mempunyai kedu- dukan yang sentral sebab esensi dari kehidupan sosial dan berorganisasi yaitu kesepakatan bekerjasama. Tidak ada organisasi tanpa kerjasama. Bahkan dalam pemberdayaan organisasi, kerjasama yaitu tujuan final dari setiap jadwal pemberdayaan. Manajer akan ditakar keberhasilannya dari seberapa bisa ia membuat kerjasama di dalam organisasi (intern), dan menjalin kolaborasi dengan pihak-pihak di luar organisasi (ekstern).
Prinsip-prinsip organisasi yang selama ini dikembangkan, hakikatnya merupakan perwujudan bentuk kolaborasi yang dilembagakan, di mana setiap orang dalam organisasi tersebut mengakui dan tunduk terhadap organi-sasi. Prinsip-prinsip tersebut tentunya merupakan hasil penelaahan yang usang dan mendalam wacana interaksi insan dalam organisasi, sehingga dinyata- kan sebagai sesuatu yang hampir pasti keberadaannya, yaitu:
- Adanya pembagian kerja (division of work). Pembagian kerja atau penempatan karyawan, secara normatif harus memakai prinsip the right man on the right place . Paling tidak ada dua dasar berpikir mengenai hal ini, yaitu (a) pekerjaan dalam organisasi volume dan/atau ragamnya cukup banyak sehingga tidak bisa ditangani oleh satu atau dua orang saja, dan (b) setiap orang mempunyai minat, kecakapan, keahlian atau spesialisasi tertentu.
- Adanya pembagian wewenang dan tanggung jawab (authority and responsibility). Dalam kiprah pekerjaannya, setiap staf dilengkapi oleh wewenang dalam melaksanakan pekerjaan tertentu dan setiap wewenang itu menempel suatu pertanggungjawaban. Agar staf sanggup menjalankan kewenangan dan memenuhi tanggungjawabnya, perlu diberi peluang untuk saling berhubungan antar sesama staf dan antara dirinya dengan manajer terkait.
- Adanya kesatuan perintah (unity of command) dan pengarahan (unity of direction). Dalam melakasanakan pekerjaan, karya- wan yang baik akan memperhatikan prinsip kesatuan perintah pada bidangnya sehingga pelaksanaan kerja sanggup dijalankan dengan baik. Karyawan juga harus tahu kepada siapa ia harus bertanggung jawab. Perintah yang tiba dari manajer potongan yang lain kepada seorang karyawan kadankala bisa mengacaukan kejelasan wewenang, tanggung jawab, dan pembagian kerja. Untuk memastikan adanya kesatuan perintah, perlu dijalin komunikasi dan kerjasama. Dalam pelaksanaan kerja, bisa saja terjadi adanya dua perintah yang bertentangan. Untuk keserasian perintah, sekali lagi diharapkan komunikasi, konsensus, dan kerjasama.
- Adanya ketertiban (order) organisasi. Ketertiban dalam organisasi sanggup terealisasi dengan hukum yang ketat atau sanggup pula dikarenakan telah tercip- tanya budaya kerja yang sangat kuat. Ketertiban dalam suatu pekerjaan sanggup terwujud apabila seluruh karyawan, baik atasan maupun bawahan mempunyai disiplin yang tinggi dari masing-masing anggota organisasi.
- Adanya semangat kesatuan (semangat korp). Setiap staf harus mempunyai rasa kesatuan, atau senasib sepenanggungan sehingga menjadikan semangat kerjasama yang baik. Semangat kesatuan akan lahir apabila setiap karyawan mempunyai kesadaran bahwa setiap karyawan sangat berarti bagi karyawan lain. Setiap potongan dibutuhkan oleh potongan lainnya. Manajer yang mempunyai kepemimpinan akan bisa melahirkan semangat kesatuan (esprit de corp), sedangkan manajer yang suka memaksakan kehendak dengan cara-cara yang bergairah akan melahirkan friction de corp (perpecahan dalam korp).
Kelima prinsip di atas merupakan perwujudan kolaborasi antarindividu, yang telah dibingkai dalam organisasi. Chester I. Barnard mengemukakan bahwa organisasi yaitu sistem kerjasama antara dua orang atau lebih (Djatmiko, 2002; 1). James D. Mooney juga beropini bahwa organisasi yaitu setiap bentuk kerjasama untuk pencapaian tujuan bersama.
Sekolah yaitu sebuah oganisasi. Di dalam sekolah terdapat struktur organisasi, mulai kepala sekolah, wakil kepala, dewan guru, staf, komite sekolah, dan tentu saja siswa-siswi. Dalam sekolah terdapat kurikulum dan pembelajaran, biaya, sarana, dan hal-hal lain yang harus direncanakan, dilaksankan, dipimpin, dan diawasi. Semuanya itu bermuara pada kekerabatan kolaborasi atau human relation.
Dalam proses pelatihan atau supervisi, pengawas diharapkan sanggup menjalin kerjasama yang serasi dan egaliter yaitu tidak mengedepankan kewenangan yang dimilikinya. Pendekatan otoritas dalam interaksi dengan bawahan di abad kini ini sudah kurang relevan. Yang lebih mengena yaitu adalah pendekatan kolegial, di mana pengawas menempatkan diri sebagai kawan sekolah dalam mencapai kemajuan.
Dewasa ini, kata “perintah, petunjuk dan pengarahan” sudah tidak terkenal lagi, digantikan oleh kata pemberdayaan dan pendampingan. Dalam hal ini kesan kolaborasi lebih terasa.
Pengawas harus mengambil posisi sebagai kawan bagi kepala sekolah dan komite sekolah dalam menjalankan tugasnya. Yang dimaksud pemberda- yaan sekolah yaitu membuat bisa (enabling) sekolah dalam menjalankan tugasnya dengan cara memperlancar (facilitating), menyediakan waktu dan tenaga untuk berlangsungnya proses konsultasi (consulting), membina berhubungan (collaborating), membimbing (mentoring), dan mendukung (supporting) jadwal positif sekolah.
Sumber:
Anonim. 2008. Menumbuhkan Semangat Kerja Sama. Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.
Belum ada Komentar untuk "✔ Pengertian, Kedudukan Dan Fungsi Kerjasama Dalam Organisasi Sekolah"
Posting Komentar