✔ Karakteristik Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
| Kompetensi Supervisi Akademik merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh para pengawas satuan pendidikan. Kompetensi ini berkenaan dengan kemampuan pengawas dalam rangka pembinaan dan pengembangan kemampuan guru untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan bimbingan di sekolah/satuan pendidikan. Secara spesifik pengawas satuan pendidikan harus mempunyai kemampuan untuk membantu guru dalam memahami dan membuatkan substansi tiap mata pelajaran atau rumpun mata pelajaran khususnya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Berdasarkan tataran empiris dan kontekstual masih terlihat terperinci adanya kesenjangan antara tataran normatif dengan fenomena ideologis, sosial, politik, dan cultural dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara RI. Tataran normatif semenjak kita merdeka sudah terukir dengan indah apa yang menjadi komitmen kita bersama sebagai sebuah bangsa yaitu: “Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial….” (Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945). Komitmen kebangsaan yang sangat tinggi yang tertulis secara norma-tif dengan kenyataan yang ditampilkan masih perlu pembenahan. Kesenjangan ini terus bergulir, puncaknya ialah krisis nasional, yang dikenal dengan kisis multidimensi. Untuk itu maka perlu pendidikan yang efektif dan bermutu.
Salah satu dilema yang terkait dengan penerapan esensi pendidikan ilmu pengetahuan sosial misalnya mata pelajaran kewarganegaraan ialah memudarnya rasa nasionalisme dan patriotisme dan munculnya arogansi kesukuan dan golongan yang merusak sendi-sendi demokratisasi.
Salah satu upaya untuk mengatasi dilema memudarnya rasa nasionalisme dan patriotisme dalam memperjuangkan jati diri bangsa Indonesia dalam persaingan global dan memudarnya integrasi nasional, maka dibutuhkan sosialisasi hasil kajian esensi pendidikan kewarganegaraan dan sosialisasi bagaimana pembelajarannya semoga bisa memperkuat revitalisasi nasionalisme In-donesia menuju character and nation building sebagai rujukan harapan pendidikan masa depan. Juga sanggup memperkuat kembali komitmen kebangsaan yang selama ini mulai memudar dengan tekad memperjuangkan bangsa Indonesia yang berkualitas dan bermartabat. Dengan demikian maka Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan politik dan moral bangsa ialah sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar untuk tetap eksis dan maju ke arah paradig-ma gres yang populer dengan arah gres atau paradigma moderat.
Menurut Malik Fajar (2004: 4) semenjak tahun 1994, pembelajaran PKn menghadapi aneka macam hambatan dan keterbatasan. Kendala dan keterbatasan tersebut adalah: (1) masukan instrumental (instrumental input) terutama yang berkaitan dengan kualitas guru serta keterbatasan kemudahan dan sumber belajar, dan (2) masukan lingkungan (instrumental input) terutama yang berkaitan dengan kondisi dan situasi kehidupan politik negara yang kurang demokratis.
Beberapa petunjuk empiris menyangkut permasalahan tersebut antara lain sebagai berikut. Pertama, proses pembelajaran dan penilaian dalam IPS lebih menekankan pada aspek instruksional yang sangat terbatas, yaitu pada penguasaan materi (content mastery). Dengan kata lain lebih menekankan pada dimensi kognitifnya sehingga telah mengabaikan sisi lain yang penting, yaitu pembentukan tabiat dan abjad yang bergotong-royong menjadi fungsi dan tujuan utama IPS. Kedua, pengelolaan kelas belum bisa membuat suasana yang aman untuk berkembangnya pengalaman mencar ilmu siswa yang sanggup menjadi landasan untuk berkembangnya kemampuan intelektual siswa (state of mind ). Proses pembelajaran yang bersifat “satu arah” dan pasif baik di dalam maupun di luar kelas telah berakibat pada miskinnya pengalaman mencar ilmu yang bermakna (meaningful learning) dalam proses pembentukan tabiat dan sikap siwa. Untuk itu sangat penting bagi kita untuk membangun model-model pembelajaran khususnya dalam IPS dalam rangka, membuat proses mencar ilmu yang menyenangkan, mengasyikkan, sekaligus mencerdaskan. Ketiga, pelaksanaan aktivitas ektra-kurikuler sebagai wahana sosio-pedagogis melalui pemanfaatan “ hands-on experience” juga belum berkembang sehingga belum menawarkan bantuan yang berarti dalam menyeimbangkan antara penguasaan teori dan pembinaan perilaku, khususnya yang berkaitan dengan penyesuaian hidup yang terampil dalam suasana yang demokratis dan sadar hukum.
Kompleksitas permasalahan yang melukiskan betapa banyaknya hambatan kurikuler dan sosio-kultural dalam pembelajaran IPS untuk mencapai hasil mencar ilmu yang menyeluruh, yang dalam pendekatan pembelajaran kontekstual merupakan prinsip penting apabila kurikulum berbasis kompetensi atau kepribadian yang diusulkan oleh Winataputra (2004: 21). Khususnya dalam menanamkan sikap, nilai dan sikap yang sanggup dijadikan landasan untuk membentuk tabiat dan abjad para siswa didik dalam konteks negara-bangsa Indonesia.
Empat pilar mencar ilmu yang diperkenalkan oleh UNESCO dalam Soedijarto (2004: 10-18) yaitu learning to know, menyerupai telah dikemukakan oleh Philip Phoenix, proses pembelajaran yang mengutamakan penguasaan ways of knowing atau mode of inquire telah memungkinkan siswa untuk terus mencar ilmu dan bisa memperoleh pengetahuan gres dan tidak hanya memperoleh pengetahuan dari hasil penelitian orang lain, melainkan dari hasil penelitiannya sendiri. Karena itu, hakikat dari learning to know ialah proses pembelajaran yang memungkinkan siswa menguasai tehnik menemukan pengetahuan dan bukan semata-mata hanya memperoleh pengetahuan. Learning to do yaitu pembelajaran untuk mencapai kemampuan untuk melaksanakan controlling, monitoring, maintaining, designing, organizing. Belajar ini terkait dengan mencar ilmu melaksanakan sesuatu dalam situasi yang faktual yang tidak hanya terbatas kepada penguasaan keterampilan mekanistis melainkan mencakup kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dengan orang lain, mengelola dan mengatasi konflik, menjadi pekerjaan yang penting.
Learning to live together yaitu membekali siswa kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda, dengan penuh toleransi, saling pengertian dan tanpa prasangka. Dalam kekerabatan ini, prinsip relevansi sosial dan moral. Learning to be, keberhasilan pembelajaran untuk mencapai pada tingkatan ini dibutuhkan dukungan keberhasilan dari pilar pertama, kedua, dan ketiga, yaitu : tiga pilar yaitu learning to know, learning to do, dan learnig to live together ditujukan bagi lahirnya siswa didik yang bisa mencari infor-masi dan menemukan ilmu pengetahuan, yang bisa memecahkan masalah, dan bisa bekerja sama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan.
Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa didik, sehingga menjadi insan yang bisa menge-nal dirinya, yakni insan yang berkepribadian yang mantap dan mandiri. Manusia yang utuh yang mempunyai kemantapan emosional dan intelektual, yang mengenal dirinya, yang sanggup mengendalikan dirinya dengan konsisten dan mempunyai rasa tenggang rasa (tepo seliro), atau disebut mempunyai Emotional Intelligence.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 ihwal Sis-tem Pendidikan Nasional, Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa ”Pendidikan nasional ialah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan peru-bahan zaman”. Pasal 37 menyebutkan bahwa, ”Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: (a) pendidikan Agama; (b) pendidikan Kewar-ganegaraan; (c) Bahasa; (d) Matematika;(e) Ilmu Pengetahuan Alam; (f) Ilmu Pengetahuan Sosial; (g) Seni dan Budaya; (h) Pendidikan Jasmani dan Olah-raga; (i) Keterampilan/Kejuruan; dan (j) Muatan Lokal”.Dari isi Undang-Undang Sisdiknas di atas terperinci eksistensi PKn dalam kurikulum persekolahan ialah berdiri sendiri sebagai mata pelajaran.
Istilah yang sering dipakai selain PKn ialah civics. Henry Randall Waite (1886) menyerupai dikutip oleh Sumantri (2001: 281) merumuskan penger-tian Civics sebagai ilmu kewarganegaraan yang membicarakan kekerabatan ma-nusia dengan: (a) perkumpulan yang terorganisir (organisasi sosial, organisasi ekonomi, dan organisasi politik); dan (b) individu dengan negara. Istilah lain yang hampir sama maknanya dengan civics ialah citizenship.
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu dari lima tradisi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yakni citizenship tranmission, ketika ini sudah menjelma tiga aspek pendidikan Kewarganegaraan (citizenship education), yakni aspek akademis, aspek kurikuler, dan aspek social budaya. Secara akademis pendidikan kewarganegaraan sanggup didefinisikan sebagai suatu bidang kajian yang memusatkan telaahannya pada seluruh dimensi psikologis dan sosial budaya kewarganegaraan individu, dengan memakai ilmu politik, ilmu pendidikan sebagai landasan kajiannya atauan penemuannya pada dasarnya yang diperkaya dengan disiplin ilmu lain yang relevan, dan mempunyai implikasi kebermanfatan terhadap instrumentasi dan praksis pendidikan seti-ap warga negara dalam konteks sistem pendidikan nasional (Wiranaputra, 2004).
Menurut Malik Fajar (2004: 6-8) bahwa PKn sebagai wahana untuk me-ngembangkan kemampuan, tabiat dan abjad warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab, PKn mempunyai peranan yang amat penting. Mengingat banyak permasalahan mengenai pelaksanaan PKn hingga ketika ini, maka arah gres PKn perlu segera dikembangkan dan dituangkan dalam bentuk standar nasional, standar materi serta model-model pembelajaran yang efektif dalam mencapai tujuannya. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai arah ba-ru yaitu:
Pertama, PKn merupakan bidang kajian kewarganegaraan yang ditopang aneka macam disiplin ilmu yang relevan, yaitu: ilmu politik, hukum, sosiologi, antropologi, psikologi, dan disiplin ilmu lainnya, yang dipakai sebagai landas-an untuk melaksanakan kajian-kajian terhadap proses pengembangan konsep, nilai, dan sikap demokrasi warganegara. Kemampuan dasar terkait dengan kemampuan intelektual, sosial (berpikir,bersikap, bertindak, serta berpartisi-pasi dalam hidup bermasyarakat). Substansi pendidikan (cita-cita, nilai, dan konsep demokrasi) dijadikan materi kurikulum PKn yang bersumber pada pi-lar-pilar demokrasi konstitusional Indonesia.
Kedua, PKn membuatkan daya kebijaksanaan (state of mind) bagi para akseptor didik. Pembangunan abjad bangsa merupakan proses pengembangan warga negara yang cerdas dan berdaya kebijaksanaan tinggi. PKn memusatkan perhatiannya pada pengembangan kecerdasan (civic intelligence), tanggungjawab (civic responsibility), dan partisipasi (civic participation) warga negara sebagai landasan pengembangan nilai dan sikap demokrasi.
Ketiga, PKn sebagai suatu proses pencerdasan, maka pendekatan pem-belajaran yang dipakai ialah yang lebih inspiratif dan pertisipatif dengan menekankan pada training penggunaan logika dan penalaran.
Untuk memfasilitasi pembelajaran PKn yang efektif dikembangkan ba-han mencar ilmu interaktif yang dikemas dalam aneka macam bentuk paket menyerupai materi mencar ilmu tercetak, terekam, tersiar, elektronik, dan materi mencar ilmu yang diga-li dari lingkungan masyarakat sebagai pengalaman langsung. Di samping itu upaya peningkatan kualifikasi dan mutu guru PKn perlu dilakukan secara sistematis semoga terjadinya kesinambungan antara pendidikan guru melalui LPTK, training dalam jabatan, serta pembinaan kemampuan profesional guru secara berkelanjutan dalam mengelola proses pembelajaran untuk mencapai hasil be-lajar yang diharapkan.
Keempat, kelas PKn sebagai laboratorium demokrasi. Melalui PKn, pemahaman, sikap, dan sikap demokratis dikembangkan bukan semata-mata melalui ”mengajar demokrasi” (teaching democraty), tetapi melalui model pembelajaran yang secara eksklusif menerapkan cara hidup berdemokrasi (doing democray). Penilaian bukan semata-mata dimaksudkan sebagai alat kendali mutu tetapi juga sebagai alat untuk menawarkan sumbangan mencar ilmu bagi siswa sehingga sanggup lebih berhasil di masa depan. Evaluasi dilakukan secara menyeluruh termasuk portofolio siswa dan penilaian diri yang lebih berbasis kelas.
Dari arah gres PKn yang diharapkan terealialisasikan dalam kehidupan nyata di sekolah maupun di masyarakat , yang terbentang ke seluruh Tanah Air. Untuk itu dibutuhkan pemahaman bersama untuk disosialisasikan dalam bentuk kerja nyata dalam pembentukan kepribadian siswa menjadi priibadi yang utuh, dan insan kamil yang menjadi rujukan harapan kita bersama yakni sanggup menjawab tantangan pembelajaran pada era 21, yakni: (1) berpikir kritis dan menuntaskan masalah-masalah; (2) kreatif dan inovasi; (3) kete-rampilan berkomunikasi dan menggali dan memberikan informasi; (4) ke-terampilan berkolaborasi; (5) pembelajaran kontekstual; dan (6) keterampilan memakai teknologi dan media komunikasi dan informasi.
Tidak gampang memang, namun bukan berarti tidak bisa dilakukan, semua sangat bergantung pada niat, dan dorongan kita bersama untuk menawarkan dukungan, sehingga apa harapannya yang bersemangat berubah yang lebih penting ialah guru sebagai pelaku eksklusif di lapangan.
Selain itu juga akan terbangun budaya demokrasi, yang menjadi esensi materi pembelajaran yang perlu disampaikan oleh guru. Adapun prinsip-prinsip demokrasi berdasarkan Masykuri Abdullah (Dede Rosyada, 2003: 117-119) ialah persamaan, kebebasan dan pluralisme. Robert Dahl dalam goresan pena yang sama, bahwa prinsip yang harus ada dalam demokrasi yaitu: (1) kontrol atas keputusan pemerintah, (2) pemilihan yang teliti dan jujur, (3) hak menentukan dan dipilih, (4) kebebasan menyataan pendapat tanpa ancaman, (5) kebebasan mengakses informasi, dan (6) kebebasan berserikat. Sedangakn Amin Rais dalam Dede Rosyada (2003: 117-119) merumuskan kriteria lain dari parameter demokrasi adalah: (1) adanya partisipasi dalam pembuatan keputusan, dan (2) distrbusi pendapatan secara riil.
Sumber:
Anonim. 2008. Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.
Berdasarkan tataran empiris dan kontekstual masih terlihat terperinci adanya kesenjangan antara tataran normatif dengan fenomena ideologis, sosial, politik, dan cultural dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara RI. Tataran normatif semenjak kita merdeka sudah terukir dengan indah apa yang menjadi komitmen kita bersama sebagai sebuah bangsa yaitu: “Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial….” (Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945). Komitmen kebangsaan yang sangat tinggi yang tertulis secara norma-tif dengan kenyataan yang ditampilkan masih perlu pembenahan. Kesenjangan ini terus bergulir, puncaknya ialah krisis nasional, yang dikenal dengan kisis multidimensi. Untuk itu maka perlu pendidikan yang efektif dan bermutu.
Salah satu dilema yang terkait dengan penerapan esensi pendidikan ilmu pengetahuan sosial misalnya mata pelajaran kewarganegaraan ialah memudarnya rasa nasionalisme dan patriotisme dan munculnya arogansi kesukuan dan golongan yang merusak sendi-sendi demokratisasi.
Salah satu upaya untuk mengatasi dilema memudarnya rasa nasionalisme dan patriotisme dalam memperjuangkan jati diri bangsa Indonesia dalam persaingan global dan memudarnya integrasi nasional, maka dibutuhkan sosialisasi hasil kajian esensi pendidikan kewarganegaraan dan sosialisasi bagaimana pembelajarannya semoga bisa memperkuat revitalisasi nasionalisme In-donesia menuju character and nation building sebagai rujukan harapan pendidikan masa depan. Juga sanggup memperkuat kembali komitmen kebangsaan yang selama ini mulai memudar dengan tekad memperjuangkan bangsa Indonesia yang berkualitas dan bermartabat. Dengan demikian maka Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan politik dan moral bangsa ialah sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar untuk tetap eksis dan maju ke arah paradig-ma gres yang populer dengan arah gres atau paradigma moderat.
Menurut Malik Fajar (2004: 4) semenjak tahun 1994, pembelajaran PKn menghadapi aneka macam hambatan dan keterbatasan. Kendala dan keterbatasan tersebut adalah: (1) masukan instrumental (instrumental input) terutama yang berkaitan dengan kualitas guru serta keterbatasan kemudahan dan sumber belajar, dan (2) masukan lingkungan (instrumental input) terutama yang berkaitan dengan kondisi dan situasi kehidupan politik negara yang kurang demokratis.
Beberapa petunjuk empiris menyangkut permasalahan tersebut antara lain sebagai berikut. Pertama, proses pembelajaran dan penilaian dalam IPS lebih menekankan pada aspek instruksional yang sangat terbatas, yaitu pada penguasaan materi (content mastery). Dengan kata lain lebih menekankan pada dimensi kognitifnya sehingga telah mengabaikan sisi lain yang penting, yaitu pembentukan tabiat dan abjad yang bergotong-royong menjadi fungsi dan tujuan utama IPS. Kedua, pengelolaan kelas belum bisa membuat suasana yang aman untuk berkembangnya pengalaman mencar ilmu siswa yang sanggup menjadi landasan untuk berkembangnya kemampuan intelektual siswa (state of mind ). Proses pembelajaran yang bersifat “satu arah” dan pasif baik di dalam maupun di luar kelas telah berakibat pada miskinnya pengalaman mencar ilmu yang bermakna (meaningful learning) dalam proses pembentukan tabiat dan sikap siwa. Untuk itu sangat penting bagi kita untuk membangun model-model pembelajaran khususnya dalam IPS dalam rangka, membuat proses mencar ilmu yang menyenangkan, mengasyikkan, sekaligus mencerdaskan. Ketiga, pelaksanaan aktivitas ektra-kurikuler sebagai wahana sosio-pedagogis melalui pemanfaatan “ hands-on experience” juga belum berkembang sehingga belum menawarkan bantuan yang berarti dalam menyeimbangkan antara penguasaan teori dan pembinaan perilaku, khususnya yang berkaitan dengan penyesuaian hidup yang terampil dalam suasana yang demokratis dan sadar hukum.
Kompleksitas permasalahan yang melukiskan betapa banyaknya hambatan kurikuler dan sosio-kultural dalam pembelajaran IPS untuk mencapai hasil mencar ilmu yang menyeluruh, yang dalam pendekatan pembelajaran kontekstual merupakan prinsip penting apabila kurikulum berbasis kompetensi atau kepribadian yang diusulkan oleh Winataputra (2004: 21). Khususnya dalam menanamkan sikap, nilai dan sikap yang sanggup dijadikan landasan untuk membentuk tabiat dan abjad para siswa didik dalam konteks negara-bangsa Indonesia.
Empat pilar mencar ilmu yang diperkenalkan oleh UNESCO dalam Soedijarto (2004: 10-18) yaitu learning to know, menyerupai telah dikemukakan oleh Philip Phoenix, proses pembelajaran yang mengutamakan penguasaan ways of knowing atau mode of inquire telah memungkinkan siswa untuk terus mencar ilmu dan bisa memperoleh pengetahuan gres dan tidak hanya memperoleh pengetahuan dari hasil penelitian orang lain, melainkan dari hasil penelitiannya sendiri. Karena itu, hakikat dari learning to know ialah proses pembelajaran yang memungkinkan siswa menguasai tehnik menemukan pengetahuan dan bukan semata-mata hanya memperoleh pengetahuan. Learning to do yaitu pembelajaran untuk mencapai kemampuan untuk melaksanakan controlling, monitoring, maintaining, designing, organizing. Belajar ini terkait dengan mencar ilmu melaksanakan sesuatu dalam situasi yang faktual yang tidak hanya terbatas kepada penguasaan keterampilan mekanistis melainkan mencakup kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dengan orang lain, mengelola dan mengatasi konflik, menjadi pekerjaan yang penting.
Learning to live together yaitu membekali siswa kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda, dengan penuh toleransi, saling pengertian dan tanpa prasangka. Dalam kekerabatan ini, prinsip relevansi sosial dan moral. Learning to be, keberhasilan pembelajaran untuk mencapai pada tingkatan ini dibutuhkan dukungan keberhasilan dari pilar pertama, kedua, dan ketiga, yaitu : tiga pilar yaitu learning to know, learning to do, dan learnig to live together ditujukan bagi lahirnya siswa didik yang bisa mencari infor-masi dan menemukan ilmu pengetahuan, yang bisa memecahkan masalah, dan bisa bekerja sama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan.
Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa didik, sehingga menjadi insan yang bisa menge-nal dirinya, yakni insan yang berkepribadian yang mantap dan mandiri. Manusia yang utuh yang mempunyai kemantapan emosional dan intelektual, yang mengenal dirinya, yang sanggup mengendalikan dirinya dengan konsisten dan mempunyai rasa tenggang rasa (tepo seliro), atau disebut mempunyai Emotional Intelligence.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 ihwal Sis-tem Pendidikan Nasional, Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa ”Pendidikan nasional ialah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan peru-bahan zaman”. Pasal 37 menyebutkan bahwa, ”Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: (a) pendidikan Agama; (b) pendidikan Kewar-ganegaraan; (c) Bahasa; (d) Matematika;(e) Ilmu Pengetahuan Alam; (f) Ilmu Pengetahuan Sosial; (g) Seni dan Budaya; (h) Pendidikan Jasmani dan Olah-raga; (i) Keterampilan/Kejuruan; dan (j) Muatan Lokal”.Dari isi Undang-Undang Sisdiknas di atas terperinci eksistensi PKn dalam kurikulum persekolahan ialah berdiri sendiri sebagai mata pelajaran.
Istilah yang sering dipakai selain PKn ialah civics. Henry Randall Waite (1886) menyerupai dikutip oleh Sumantri (2001: 281) merumuskan penger-tian Civics sebagai ilmu kewarganegaraan yang membicarakan kekerabatan ma-nusia dengan: (a) perkumpulan yang terorganisir (organisasi sosial, organisasi ekonomi, dan organisasi politik); dan (b) individu dengan negara. Istilah lain yang hampir sama maknanya dengan civics ialah citizenship.
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu dari lima tradisi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yakni citizenship tranmission, ketika ini sudah menjelma tiga aspek pendidikan Kewarganegaraan (citizenship education), yakni aspek akademis, aspek kurikuler, dan aspek social budaya. Secara akademis pendidikan kewarganegaraan sanggup didefinisikan sebagai suatu bidang kajian yang memusatkan telaahannya pada seluruh dimensi psikologis dan sosial budaya kewarganegaraan individu, dengan memakai ilmu politik, ilmu pendidikan sebagai landasan kajiannya atauan penemuannya pada dasarnya yang diperkaya dengan disiplin ilmu lain yang relevan, dan mempunyai implikasi kebermanfatan terhadap instrumentasi dan praksis pendidikan seti-ap warga negara dalam konteks sistem pendidikan nasional (Wiranaputra, 2004).
Menurut Malik Fajar (2004: 6-8) bahwa PKn sebagai wahana untuk me-ngembangkan kemampuan, tabiat dan abjad warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab, PKn mempunyai peranan yang amat penting. Mengingat banyak permasalahan mengenai pelaksanaan PKn hingga ketika ini, maka arah gres PKn perlu segera dikembangkan dan dituangkan dalam bentuk standar nasional, standar materi serta model-model pembelajaran yang efektif dalam mencapai tujuannya. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai arah ba-ru yaitu:
Pertama, PKn merupakan bidang kajian kewarganegaraan yang ditopang aneka macam disiplin ilmu yang relevan, yaitu: ilmu politik, hukum, sosiologi, antropologi, psikologi, dan disiplin ilmu lainnya, yang dipakai sebagai landas-an untuk melaksanakan kajian-kajian terhadap proses pengembangan konsep, nilai, dan sikap demokrasi warganegara. Kemampuan dasar terkait dengan kemampuan intelektual, sosial (berpikir,bersikap, bertindak, serta berpartisi-pasi dalam hidup bermasyarakat). Substansi pendidikan (cita-cita, nilai, dan konsep demokrasi) dijadikan materi kurikulum PKn yang bersumber pada pi-lar-pilar demokrasi konstitusional Indonesia.
Kedua, PKn membuatkan daya kebijaksanaan (state of mind) bagi para akseptor didik. Pembangunan abjad bangsa merupakan proses pengembangan warga negara yang cerdas dan berdaya kebijaksanaan tinggi. PKn memusatkan perhatiannya pada pengembangan kecerdasan (civic intelligence), tanggungjawab (civic responsibility), dan partisipasi (civic participation) warga negara sebagai landasan pengembangan nilai dan sikap demokrasi.
Ketiga, PKn sebagai suatu proses pencerdasan, maka pendekatan pem-belajaran yang dipakai ialah yang lebih inspiratif dan pertisipatif dengan menekankan pada training penggunaan logika dan penalaran.
Untuk memfasilitasi pembelajaran PKn yang efektif dikembangkan ba-han mencar ilmu interaktif yang dikemas dalam aneka macam bentuk paket menyerupai materi mencar ilmu tercetak, terekam, tersiar, elektronik, dan materi mencar ilmu yang diga-li dari lingkungan masyarakat sebagai pengalaman langsung. Di samping itu upaya peningkatan kualifikasi dan mutu guru PKn perlu dilakukan secara sistematis semoga terjadinya kesinambungan antara pendidikan guru melalui LPTK, training dalam jabatan, serta pembinaan kemampuan profesional guru secara berkelanjutan dalam mengelola proses pembelajaran untuk mencapai hasil be-lajar yang diharapkan.
Keempat, kelas PKn sebagai laboratorium demokrasi. Melalui PKn, pemahaman, sikap, dan sikap demokratis dikembangkan bukan semata-mata melalui ”mengajar demokrasi” (teaching democraty), tetapi melalui model pembelajaran yang secara eksklusif menerapkan cara hidup berdemokrasi (doing democray). Penilaian bukan semata-mata dimaksudkan sebagai alat kendali mutu tetapi juga sebagai alat untuk menawarkan sumbangan mencar ilmu bagi siswa sehingga sanggup lebih berhasil di masa depan. Evaluasi dilakukan secara menyeluruh termasuk portofolio siswa dan penilaian diri yang lebih berbasis kelas.
Dari arah gres PKn yang diharapkan terealialisasikan dalam kehidupan nyata di sekolah maupun di masyarakat , yang terbentang ke seluruh Tanah Air. Untuk itu dibutuhkan pemahaman bersama untuk disosialisasikan dalam bentuk kerja nyata dalam pembentukan kepribadian siswa menjadi priibadi yang utuh, dan insan kamil yang menjadi rujukan harapan kita bersama yakni sanggup menjawab tantangan pembelajaran pada era 21, yakni: (1) berpikir kritis dan menuntaskan masalah-masalah; (2) kreatif dan inovasi; (3) kete-rampilan berkomunikasi dan menggali dan memberikan informasi; (4) ke-terampilan berkolaborasi; (5) pembelajaran kontekstual; dan (6) keterampilan memakai teknologi dan media komunikasi dan informasi.
Tidak gampang memang, namun bukan berarti tidak bisa dilakukan, semua sangat bergantung pada niat, dan dorongan kita bersama untuk menawarkan dukungan, sehingga apa harapannya yang bersemangat berubah yang lebih penting ialah guru sebagai pelaku eksklusif di lapangan.
Selain itu juga akan terbangun budaya demokrasi, yang menjadi esensi materi pembelajaran yang perlu disampaikan oleh guru. Adapun prinsip-prinsip demokrasi berdasarkan Masykuri Abdullah (Dede Rosyada, 2003: 117-119) ialah persamaan, kebebasan dan pluralisme. Robert Dahl dalam goresan pena yang sama, bahwa prinsip yang harus ada dalam demokrasi yaitu: (1) kontrol atas keputusan pemerintah, (2) pemilihan yang teliti dan jujur, (3) hak menentukan dan dipilih, (4) kebebasan menyataan pendapat tanpa ancaman, (5) kebebasan mengakses informasi, dan (6) kebebasan berserikat. Sedangakn Amin Rais dalam Dede Rosyada (2003: 117-119) merumuskan kriteria lain dari parameter demokrasi adalah: (1) adanya partisipasi dalam pembuatan keputusan, dan (2) distrbusi pendapatan secara riil.
Sumber:
Anonim. 2008. Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Ilmu Pengetahuan Sosial. Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.
Belum ada Komentar untuk "✔ Karakteristik Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan"
Posting Komentar