✔ Nasib Buku Di Kurun Digital

Seorang siswa SD, dikala berada di kelas tampak biasa-biasa saja. Ketika diberi soal tes pada hari itu, ia cenderung kesulitan menjawab. Ia merasa kusulitan dikala memahami klarifikasi dari guru.

Namun sontak ia mengatakan wajah besar hati dikala guru memberi kiprah untuk menuntaskan soal-soal itu di rumah, sebagai materi berguru malam harinya. Sebelumnya, sang guru mengingatkan biar soal tersebut dikerjakan secara mandiri.

Luar biasa! Keesokan harinya semua soal itu terjawab dengan tanggapan sempurna. Sang gurupun terkejut. Ia merenung memikirkan apa yang salah selama ini. Anak itu bisa menguasai materi justru tanpa kehadirannya!

Kejadian di atas dialami oleh hampir semua guru. Mungkinkah siswa itu berbohong dengan meminta proteksi orang lain untuk mengerjakan tugasnya? Apakah ia memang tipe pembelajar belajar sendiri yang lebih gampang memamahi sesuatu dalam kesendiriannya?

Belum tentu.

Lalu apa penyebabnya?

Ialah alat canggih yang selalu dipegangnya kemanapun pergi: smartphone. Siswa ini menentukan cara instan dengan mencari isu di google.

Sulit menemukan siswa dikala ini yang belum berkenalan dengan dunia digital. Bahkan hingga di pegunungan hingga kawasan pelosok sekalipun dengan mudahnya kita temukan anak yang bermain gadget di luar jam sekolah mereka. Sebuah perkara muncul. Sang guru sebetulnya kurang sreg jikalau siswanya memakai media yang serba instan ini. Namun ia menyadari, dunia digital, bagaimanapun juga telah menjembatani siswa dengan pengetahuan yang tidak bisa ia ajarkan.

Melarang siswa bersentuhan dengan dunia digital, bahkan untuk suatu pengerjaan kiprah rumah bagaikan mencari permata jatuh di padang pasir. Sulit, atau bahkan tidak mungkin. Inilah watak belum dewasa kala digital (apa yang andal sebut belum dewasa generasi Z). Mereka cenderung ingin tahu dan mencoba apa-apa yang dilarang, alasannya yakni merekapun merasa yakin dan bisa memfilter imbas negatif dari adanya teknologi informasi.

Berat. Padahal kitapun sebagai guru melarang mereka bukan alasannya yakni curiga, tapi alasannya yakni melihat ada proses yang tidak masuk akal dalam peraihan ilmu pengetahuan. Ketidakwajaran itu yakni semakin ia tahu, semakin ia terjauh dari buku.

Buku?

Memang benar bahwa buku bukanlah satu-satunya sumber belajar, bukan pula sumber berguru terbaik untuk materi tertentu. Tapi buku masih lebih baik dari cuplikan-cuplikan isu yang ada di internet. Buku berisikan goresan pena yang melalui proses editing lebih ketat dibanding konten yang tersebar bebas di internet (selama berasal dari penerbit terpercaya).

Lantas bagaimana?

Tidak ada pilihan selain “mendamaikan” keduanya. Saat ini telah banyak bermunculan buku-buku yang diterbitkan dalam bentuk digital yang disahkan oleh penerbit terpercaya. Bahkan beberapa bisa diunduh secara gratis melalui playstore. Langkah ini terbilang cukup baik untuk mengalihkan siswa dari isu gado-gado nan instan di dunia maya. Namun lebih baik lagi kalau setiap ada kiprah rumah, siswa diminta menyertakan sumber acuan buku cetak.

Baiklah, kita tidak tahu bagaimana nasib buku konvensional kedepannya. Kitapun menyadari bahwa sejarah mengambarkan perkembangan teknologi isu jauh lebih cepat dibanding dunia pendidikan. Tapi jangan lupakan sejarah yaa…bahwa orang-orang besar, tokoh-tokoh dunia lahir alasannya yakni gemar membaca buku. Tahu kenapa?

Karena mereka tahu sedikit hal, namun banyak mengerti. Bukan tahu banyak hal, tapi sedikit mengerti.

Belum ada Komentar untuk "✔ Nasib Buku Di Kurun Digital"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel