✔ 63% Guru Yakni Perempuan. Benarkah Profesi Ini Lebih Cocok Bagi Kaum Hawa?
Diagram di atas ialah data terbaru perbandingan guru di Indonesia menurut jenis kelamin (Pusat Data dan Statistik Kemdikbud Tahun 2015/2016).
Mari kita cermati.
Yang pertama perbandingan jumlah semuanya dulu.
Sekilas kita pribadi bisa menyimpulkan guru perempuan unggul jauh dibanding laki-laki. Kalau ditotal, perbandingannya ialah 63:37!
Perbandingannya cukup jomplang, namun saya yakin ini bukan hal mengejutkan sebab semua orang juga mencicipi (tanpa melihat data), bahwa profesi ini semenjak dulu memang didominasi perempuan.
Yang jadi pertanyaan, apakah fakta ini memperlihatkan bahwa profesi guru memang lebih cocok untuk perempuan?
Paradigma masyarakat ketika ini mendukung ke arah sana. Pertama, perempuan dipandang sebagai sosok yang sempurna menjadi guru sebab nalurinya sebagai seorang ibu. Masyarakat percaya bahwa yang bertugas untuk mendidik, mengasuh, menjaga anak itu ialah wanita. Sementara laki-laki bukan pengasuh dan pendidik anak, melainkan sosok pekerja keras yang mempunyai kewajiban mencari nafkah.
Kedua, menyangkut kesejahteraan. Bukan diam-diam lagi kalau guru masuk kategori pekerjaan berpenghasilan rendah, kalaupun ada peningkatan tak begitu signifikan. Maka sosok yang sabar dan tulus lah yang sempurna mengisinya. Dan itulah perempuan. Lebih mencengangkan lagi, ada anggapan bahwa laki-laki yang menentukan profesi ini hanya sebagai pilihan ke sekian, sebab tidak ada profesi lain yang bisa dilakukannya!
Nanti akan coba kita buktikan pandangan ini tak tepat. Paradigma yang bias gender ini sudah saatnya dihilangkan. Sama menyerupai profesi lain, guru bukanlah profesi yang berjenis kelamin.
Sebelumnya, mari kita cermati lagi diagram di atas.
Kesenjangan terbesar antara Bu Guru dan Pak Guru ternyata ada pada pendidikan tingkat dasar (TK dan SD). Bahkan di TK, perbandingannya hingga 95 banding 5. Semakin rendah jenjang pendidikan, ekspresi dominan keberadaan guru perempuan semakin tinggi. Hanya Sekolah Menengan Atas yang memperlihatkan pengecualian.
Apa artinya?
Sederhananya, perempuan lebih banyak menentukan jenjang pendidikan rendah sebab materi yang diajarkan lebih mudah, dan problematika yang dihadapi di sekolah rendah tidak terlalu rumit. Ini mungkin alasan yang kurang tepat. Namun, alasan ini sedikit banyak niscaya dipikirkan guru yang menentukan mengajar di Taman Kanak-kanak atau SD. Sebuah pilihan masuk akal sebab disamping memikirkan sekolah, juga memikirkan keluarga dan anak di rumah. Jam mengajar yang tidak hingga sore hari memperlihatkan banyak waktu untuk mengurus keluarga.
Sekali lagi mungkin terdengar kurang indah bagi sebagian Bu guru, namun bergotong-royong tidak ada yang salah dengan alasan itu. Dan kebutuhan anak di tingkat dasar memang sesuai dengan apa yang paling bisa diajarkan oleh seorang perempuan: bukan kepintaran, tapi KARAKTER!
Anak Taman Kanak-kanak dan SD tidak membutuhkan kepintaran.
Dan abjad tidak bisa diajarkan dengan kecerdasan, namun dengan keteladanan. Yang ini perempuan lebih menonjol.
Di tingkat dasar lah bawah umur menyerap segala ilmu dasar kehidupan yang sanggup diajarkan perempuan, mulai dari moral, etika, tata krama, empati hingga toleransi. Disini, posisi perempuan menentukan untuk memperlihatkan pendidikan abjad sebagai pondasi. Kecerdasan, akan lebih diprioritaskan dan dikembangkan di tingkat sekolah menengah.
#Siapapun Berhak Menjadi Guru
Mari kita lihat diagram di bawah ini. Ini ialah perbandingan guru tahun lalu:
Tahun lalu, perbandingannya 66 banding 34. 66% guru perempuan, 34% guru laki-laki.
Ini berarti, di tahun ini ada penambahan jumlah guru laki-laki di semua jenjang sebesar 3%! Angka yang cukup signifikan. Khusus di jenjang dasar (TK/SD), peningkatannya 0,5%. Kalau kita lihat data tiap tahun, memang jumlah guru laki-laki terus mengalami peningkatan.
Memang peningkatan ini bisa saja terkait dengan perbaikan kesejahteraan yang diberikan kepada para guru, sehingga banyak yang berbondong-bondong masuk perguruan tinggi tinggi jurusan pendidikan dan alhasil menjadi guru. Anggapan ini bergotong-royong mengerdilkan profesi guru. Yang penting dari penambahan jumlah guru laki-laki, kita melihat paradigma usang mulai terkikis dan banyak yang menyadari bahwa profesi ini tidak hanya identik dengan perempuan.
“Sekarang bukan saatnya bertanya mendidik itu cocok untuk perempuan atau laki-laki, yang lebih mendesak ialah bagaimana Bu Guru dan Pak Guru bisa menjadi model dan figur abjad teladan, menyerupai yang anak rasakan ketika berada di tengah-tengah orang tuanya”
Apa kiprah guru laki-laki?
Ini pertanyaan penting dalam rangka memperkuat mindset bahwa profesi guru menekankan kesetaraan gender. Anak butuh sosok laki-laki sekaligus perempuan yang membimbingnya.
Meni Tsigra, seorang profesor dari University of Athens dalam penelitiannya yang berjudul Male Teachers and Children’s Gender Construction in Preschool Education menemukan kiprah guru laki-laki:
1. Guru laki-laki lebih fleksibel dan tidak mengintervensi anak dalam mencoba pengalaman baru.
Karena lebih fleksibel, guru laki-laki cenderung membiarkan anak untuk melaksanakan permainan yang selama ini bukan “mainstream”nya. Ia membiarkan anak mengeksplor acara yang ingin dilakukan atau mainkan, meskipun “tidak sesuai” dengan gendernya.
Contoh, kita bisa melihat banyak guru mulai mengikutkan anak perempuan dalam permainan olahraga menyerupai sepakbola atau basket. Ini memberi kesempatan anak untuk melaksanakan pengalaman gres sekaligus menanamkan keadilan gender, bahwa semua orang mempunyai kesempatan sama untuk melaksanakan semua bidang pekerjaan.
2. Sebagai figur ayah
Anak mulai memahami kehadiran ayah semenjak ia masih bayi. Ia butuh sosok pengayom dan peneduh ketika mengalami keresahan atau
Di sekolah, rasa nyaman itu sanggup muncul berkat kehadiran guru laki-laki yang bisa menjadi figur ayah.
3. Sebagai “traditional man”
Istilah yang dipakai Meni Tsigra ini bergotong-royong merujuk pada kebiasaan guru laki-laki sanggup melaksanakan pekerjaan-pekerjaan berat dan kasar, menyerupai memperbaiki genteng, menanam pohon besar, memperbaiki meja, mengecat dinding dan sebagainya. Selain itu, “traditional man” juga merujuk abjad guru laki-laki yang lebih bisa mengatur dan mendisiplinkan anak.
4. Sebagai citra profesi kelak
Peran ini dimasukkan Tsigra sehabis menerima balasan atas pertanyaannya kepada seorang anak, bahwa profesi guru sanggup menjadi citra keinginan anak sebagai profesinya kelak.
Apakah kiprah guru laki-laki hanya empat itu?
Tentu saja tidak. Apalagi kalau kita lihat bahwa pendidikan ketika ini tidak hanya sekedar mengajar, mendidik, dan mengasuh, maka kiprah guru laki-laki sangat vital. Sehingga terang bahwa paradigma yang menyampaikan profesi ini hanya cocok untuk perempuan itu salah. Anak membutuhkan kedua sosok ini secara seimbang.
Belum ada Komentar untuk "✔ 63% Guru Yakni Perempuan. Benarkah Profesi Ini Lebih Cocok Bagi Kaum Hawa?"
Posting Komentar