✔ Perlunya Perubahan Paradigma Wacana Mengajar
Perlunya Perubahan Paradigma wacana Mengajar - . Apakah mengajar sebagai proses menanamkan pengetahuan dalam era teknologi kini ini masih berlaku? Bagaimana seandainya pengajar (guru) tidak berhasil menanamkan pengetahuan kepada orang yang diajarnya masih juga dianggap orang tersebut telah mengajar? Lalu, jikalau begitu apa kriteria keberhasilan mengajar? Apakah mengajar hanya ditentukan oleh seberapa besar pengetahuan yang telah disampaikan?
Pandangan mengajar yang hanya sebatas memberikan ilmu pengetahuan itu, dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan. Mengapa demikian? Minimal ada tiga alasan penting. Alasan inilah yang lalu menuntut perlu terjadinya perubahan paradigma mengajar dari mengajar hanya sebatas memberikan materi pelajaran kepada mengajar sebagai proses mengatur lingkungan.
Pertama, siswa bukan orang cendekia balig cukup akal dalam bentuk mini, akan tetapi mereka ialah organisme yang sedang berkembang. Agar mereka sanggup melakukan tugas-tugas perkembangannya, diharapkan orang cendekia balig cukup akal yang sanggup mengarahkan dan membimbing mereka supaya tumbuh dan berkembang secara optimal. Oleh alasannya ialah itulah, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi info yang memungkinkan setiap siswa sanggup dengan gampang mendapat banyak sekali informasi, kiprah dan tanggung jawab guru bukan semakin sempit akan tetapi justru semakin komplek. Guru bukan saja dituntut untuk lebih aktif mencari info yang dibutuhkan, akan tetapi ia ju-ga harus bisa menyeleksi banyak sekali informasi, sehingga sanggup menunjuk-kan pada siswa info yang dianggap perlu dan penting untuk kehidupan mereka. Guru harus menjaga siswa supaya tidak terpengaruh oleh banyak sekali info yang sanggup menyesatkan dan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan mereka. Karena itulah, kemajuan teknologi menuntut perubahan pe-ran guru. Guru tidak lagi memposisikan diri sebagai sumber berguru yang bertugas memberikan informasi, akan tetapi harus berperan sebagai pengelola sumber berguru untuk dimanfaatkan siswa itu sendiri.
Kedua, ledakan ilmu pengetahuan mengakibatkan kecenderungan setiap orang mustahil sanggup menguasai setiap cabang keilmuan. Begitu hebatnya perkembangan ilmu biologi, ilmu ekonomi, aturan dan lain sebagainya. Apa yang dulu tidak pernah terbayangkan, kini menjadi kenyataan. Dalam bidang teknologi, begitu hebatnya orang membuat benda-benda me-kanik yang bukan hanya diam, tapi bergerak, bahkan sanggup terbang menembus angkasa luar. Demikian juga kehebatan para mahir yang bergerak dalam bidang kesehatan yang bisa mencangkok organ badan insan sehingga menambah keinginan hidup manusia. Semua dibalik kehebatan-kehebatan itu, bersumber dari apa yang kita sebut sebagai pengetahuan. Abad pengetahuan itulah yang seharusnya menjadi dasar perubahan. Bahwa belajar, bukan hanya sekedar mengahapal informasi, menghapal rumus-rumus, akan tetapi bagaimana memakai info dan pengatahuan itu untuk mengasah kemampuan berpikir.
Ketiga, penemuan-penemuan gres khususnya dalam bidang psikologi, mengakibatkan pemahaman gres terhadap konsep perubahan tingkah laris manusia. Dewasa ini, anggapan insan sebagai organisma yang pasif yang perilakunya sanggup ditentukan oleh lingkungan menyerupai yang dijelaskan dalam aliran behavioristik, telah banyak ditinggalkan orang. Orang kini lebih percaya, bahwa insan ialah organisme yang mempunyai potensi menyerupai yang dikembangkan oleh aliran kognitif wholistik. Potensi itulah yang akan memilih sikap manusia. Oleh alasannya ialah itu proses pendidikan bukan lagi menunjukkan stimulus, akan tetapi perjuangan menyebarkan potensi yang dimiliki. Di sini, siswa tidak lagi dianggap sebagai objek, akan tetapi sebagai subjek berguru yang harus mencari dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan itu tidak diberikan, akan tetapi dibangun oleh siswa.
Ketiga hal di atas, menuntut perubahan makna dalam mengajar. Mengajar tidak hanya diartikan sebagai proses memberikan materi pembelajaran, atau menunjukkan stimulus sebanyak-banyaknya kepada siswa, akan tetapi juga mengajar dipandang sebagai proses mengatur lingkungan supaya siswa berguru sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya. Pengaturan lingkungan ialah proses membuat iklim yang baik menyerupai penataan lingkungan, penyediaan alat dan sumber pembelajaran, dan hal-hal lain yang memungkinkan siswa betah dan merasa bahagia berguru sehingga mereka sanggup berkem-bang secara optimal sesuai dengan bakat, minat dan potensi yang dimilikinya. Istilah mengajar bergeser pada istilah pembelajaran yang sering digunakan cendekia balig cukup akal ini.
Kata “pembelajaran” ialah terjemahan dari “instruction”, yang banyak digunakan dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran Psikologi Kognitif-wholistik, yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang diasumsikan sanggup mempermudah siswa mempe-lajari segala sesuatu lewat banyak sekali macam media menyerupai bahan-bahan cetak, jadwal televisi, gambar, audio dan lain sebagainya, sehingga semua itu men-dorong terjadinya perubahan peranan guru dalam mengelola proses belajar-mengajar, dari guru sebagai sumber berguru menjadi guru sebagai fasilitator dalam berguru mengajar. Hal ini menyerupai yang diungkapkan Gagne (1992: 3), yang menyatakan bahwa “instruction is a set of event that effect learners in such a way that learning is facilitated”. Oleh alasannya ialah itu berdasarkan Gagne, mengajar atau “teaching” merupakan bab dari pembelajaran (instruction), di mana kiprah guru lebih ditekankan kepada bagaimana merancang atau menga-ransemen banyak sekali sumber dan kemudahan yang tersedia untuk digunakan atau dimanfaatkan siswa dalam mempelajari sesuatu. Lebih lengkap Gagne menyatakan: “Why do we speak of instruction rather than teaching? It is because we wish to describe all of the events that may have a direct effect on the learning of a human being, not just those set in motion by individual who is a teacher. Instruction may include events that are generated by a page of print, by a picture, by a television program, or by combination of physical objects, among other things. Of course, a teacher may play an essential role in the arrangement of any of these events (Gagne 1992: 3).
Dalam istilah “pembelajaran” yang lebih dipengaruhi oleh perkembangan hasil-hasil teknologi yang sanggup dimanfaatkan untuk kebutuhan belajar, siswa diposisikan sebagai subjek berguru yang memegang peranan yang utama, sehingga dalam setting proses berguru mengajar siswa dituntut beraktivitas secara penuh bahkan secara individual mempelajari materi pelajaran. De-ngan demikian, jikalau dalam istilah “mengajar (pengajaran)” atau “teaching” menempatkan guru sebagai “pemeran utama” menunjukkan informasi, maka dalam “instruction” guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator, memanage banyak sekali sumber dan kemudahan untuk dipelajari siswa.
Pandangan mengajar yang hanya sebatas memberikan ilmu pengetahuan itu, dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan. Mengapa demikian? Minimal ada tiga alasan penting. Alasan inilah yang lalu menuntut perlu terjadinya perubahan paradigma mengajar dari mengajar hanya sebatas memberikan materi pelajaran kepada mengajar sebagai proses mengatur lingkungan.
Pertama, siswa bukan orang cendekia balig cukup akal dalam bentuk mini, akan tetapi mereka ialah organisme yang sedang berkembang. Agar mereka sanggup melakukan tugas-tugas perkembangannya, diharapkan orang cendekia balig cukup akal yang sanggup mengarahkan dan membimbing mereka supaya tumbuh dan berkembang secara optimal. Oleh alasannya ialah itulah, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya teknologi info yang memungkinkan setiap siswa sanggup dengan gampang mendapat banyak sekali informasi, kiprah dan tanggung jawab guru bukan semakin sempit akan tetapi justru semakin komplek. Guru bukan saja dituntut untuk lebih aktif mencari info yang dibutuhkan, akan tetapi ia ju-ga harus bisa menyeleksi banyak sekali informasi, sehingga sanggup menunjuk-kan pada siswa info yang dianggap perlu dan penting untuk kehidupan mereka. Guru harus menjaga siswa supaya tidak terpengaruh oleh banyak sekali info yang sanggup menyesatkan dan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan mereka. Karena itulah, kemajuan teknologi menuntut perubahan pe-ran guru. Guru tidak lagi memposisikan diri sebagai sumber berguru yang bertugas memberikan informasi, akan tetapi harus berperan sebagai pengelola sumber berguru untuk dimanfaatkan siswa itu sendiri.
Kedua, ledakan ilmu pengetahuan mengakibatkan kecenderungan setiap orang mustahil sanggup menguasai setiap cabang keilmuan. Begitu hebatnya perkembangan ilmu biologi, ilmu ekonomi, aturan dan lain sebagainya. Apa yang dulu tidak pernah terbayangkan, kini menjadi kenyataan. Dalam bidang teknologi, begitu hebatnya orang membuat benda-benda me-kanik yang bukan hanya diam, tapi bergerak, bahkan sanggup terbang menembus angkasa luar. Demikian juga kehebatan para mahir yang bergerak dalam bidang kesehatan yang bisa mencangkok organ badan insan sehingga menambah keinginan hidup manusia. Semua dibalik kehebatan-kehebatan itu, bersumber dari apa yang kita sebut sebagai pengetahuan. Abad pengetahuan itulah yang seharusnya menjadi dasar perubahan. Bahwa belajar, bukan hanya sekedar mengahapal informasi, menghapal rumus-rumus, akan tetapi bagaimana memakai info dan pengatahuan itu untuk mengasah kemampuan berpikir.
Ketiga, penemuan-penemuan gres khususnya dalam bidang psikologi, mengakibatkan pemahaman gres terhadap konsep perubahan tingkah laris manusia. Dewasa ini, anggapan insan sebagai organisma yang pasif yang perilakunya sanggup ditentukan oleh lingkungan menyerupai yang dijelaskan dalam aliran behavioristik, telah banyak ditinggalkan orang. Orang kini lebih percaya, bahwa insan ialah organisme yang mempunyai potensi menyerupai yang dikembangkan oleh aliran kognitif wholistik. Potensi itulah yang akan memilih sikap manusia. Oleh alasannya ialah itu proses pendidikan bukan lagi menunjukkan stimulus, akan tetapi perjuangan menyebarkan potensi yang dimiliki. Di sini, siswa tidak lagi dianggap sebagai objek, akan tetapi sebagai subjek berguru yang harus mencari dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan itu tidak diberikan, akan tetapi dibangun oleh siswa.
Ketiga hal di atas, menuntut perubahan makna dalam mengajar. Mengajar tidak hanya diartikan sebagai proses memberikan materi pembelajaran, atau menunjukkan stimulus sebanyak-banyaknya kepada siswa, akan tetapi juga mengajar dipandang sebagai proses mengatur lingkungan supaya siswa berguru sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimilikinya. Pengaturan lingkungan ialah proses membuat iklim yang baik menyerupai penataan lingkungan, penyediaan alat dan sumber pembelajaran, dan hal-hal lain yang memungkinkan siswa betah dan merasa bahagia berguru sehingga mereka sanggup berkem-bang secara optimal sesuai dengan bakat, minat dan potensi yang dimilikinya. Istilah mengajar bergeser pada istilah pembelajaran yang sering digunakan cendekia balig cukup akal ini.
Kata “pembelajaran” ialah terjemahan dari “instruction”, yang banyak digunakan dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran Psikologi Kognitif-wholistik, yang menempatkan siswa sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang diasumsikan sanggup mempermudah siswa mempe-lajari segala sesuatu lewat banyak sekali macam media menyerupai bahan-bahan cetak, jadwal televisi, gambar, audio dan lain sebagainya, sehingga semua itu men-dorong terjadinya perubahan peranan guru dalam mengelola proses belajar-mengajar, dari guru sebagai sumber berguru menjadi guru sebagai fasilitator dalam berguru mengajar. Hal ini menyerupai yang diungkapkan Gagne (1992: 3), yang menyatakan bahwa “instruction is a set of event that effect learners in such a way that learning is facilitated”. Oleh alasannya ialah itu berdasarkan Gagne, mengajar atau “teaching” merupakan bab dari pembelajaran (instruction), di mana kiprah guru lebih ditekankan kepada bagaimana merancang atau menga-ransemen banyak sekali sumber dan kemudahan yang tersedia untuk digunakan atau dimanfaatkan siswa dalam mempelajari sesuatu. Lebih lengkap Gagne menyatakan: “Why do we speak of instruction rather than teaching? It is because we wish to describe all of the events that may have a direct effect on the learning of a human being, not just those set in motion by individual who is a teacher. Instruction may include events that are generated by a page of print, by a picture, by a television program, or by combination of physical objects, among other things. Of course, a teacher may play an essential role in the arrangement of any of these events (Gagne 1992: 3).
Dalam istilah “pembelajaran” yang lebih dipengaruhi oleh perkembangan hasil-hasil teknologi yang sanggup dimanfaatkan untuk kebutuhan belajar, siswa diposisikan sebagai subjek berguru yang memegang peranan yang utama, sehingga dalam setting proses berguru mengajar siswa dituntut beraktivitas secara penuh bahkan secara individual mempelajari materi pelajaran. De-ngan demikian, jikalau dalam istilah “mengajar (pengajaran)” atau “teaching” menempatkan guru sebagai “pemeran utama” menunjukkan informasi, maka dalam “instruction” guru lebih banyak berperan sebagai fasilitator, memanage banyak sekali sumber dan kemudahan untuk dipelajari siswa.
Belum ada Komentar untuk "✔ Perlunya Perubahan Paradigma Wacana Mengajar"
Posting Komentar