✔ Melatih Diri Berperilaku Asertif
Melatih Diri Berperilaku Asertif - . Ada beberapa perkiraan yang mendasari, mengapa kita perlu melatih diri untuk berperilaku asertif. Pertama, setiap orang mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi. Kedua, setiap orang mempunyai hak yang sama. Ketiga, setiap orang sanggup menawarkan kontribusi terhadap apa yang dibicarakan. Selain itu, sikap asertif juga berkhasiat sebagai penangkal terhadap rasa takut, malu, kepasifan, bahkan kemarahan.
Berdasarkan penelitian, Schimmel (1976) menyatakan bahwa beberapa jenis sikap asertif yang perlu dilatihkan terutama adalah:
1. Berani mengemukakan pendapat, permintaan, kesukaan, dsb, yang mengakibatkan seseorang dihargai sebagai insan yang sederajat dengan insan lain.
2. Mengekspresikan emosi-emosi negatif (keluhan, kebencian, kritik, ketidaksetujuan, rasa tertekan, kebutuhan untuk dibiarkan sendirian) dan menolak permintaan.
3. Memperlihatkan emosi-emosi positif (senang, menghargai, menyukai seseorang, merasa tertarik), menawarkan pujian, dan mendapatkan kebanggaan dengan mengucapkan “terima kasih”.
4. Memulai, melaksanakan, mengubah, atau menghentikan percakapan secara menyenangkan, mengembangkan perasaan, pendapat, dan pengalaman dengan orang lain.
5. Mengatasi ketersinggungan sebelum kemarahan makin meningkat dan meledak menjadi agresi.
Untuk melatihkan dan menerapkan sikap asertif, ada dua tahap yang perlu dilakukan, yaitu:
1. Mengenali dan menyadari dimana perubahan perlu dilakukan, dan kita harus yakin dengan hak kita.
Mengisi buku diary sanggup membantu kita menilai seberapa jauh kita terintimidasi, pasif, malu, atau seberapa jauh orang lain menuntut, memaksa, atau berangasan terhadap kita. Ambillah contoh, dimana kita pasif atau agresif.
Beberapa dari kita masih mempunyai kelemahan untuk berkata “tidak” terhadap sahabat yang meminta bantuan, kita tidak sanggup menawarkan atau mendapatkan pujian, kita membiarkan pasangan atau anak kita menguasai kehidupan kita, kita tidak berani berbicara di depan lembaga wacana ketidaksetujuan kita, kita aib meminta tolong, kita takut membuat orang lain merasa terhina, dsb. Tanyakanlah pada diri sendiri, maukah kita terus menerus dalam kelemahan ini?
Selain itu, pertimbangkan pula, “darimana nilai-nilai yang kita miliki berasal”. Pada masa kecil, kita biasa dijejali dengan aturan-aturan “jangan emosional, jangan berbuat salah, jangan mementingkan diri sendiri, jangan bilang pada orang kalau kita tidak menyukainya, jangan membantah”, dan banyak lagi hukum lain yang berlawanan dengan apa yang kita inginkan. Aturan-aturan tersebut mengakibatkan anak, bahkan sehabis dewasa, sebagai seorang yang selalu tunduk (submisif). Mungkin beberapa hukum tersebut ada benarnya untuk anak-anak, tetapi selaku orang dewasa, seharusnya tidak membabi buta menerapkan hukum tersebut.
Perlu pula kita sadari, betapa sikap asertif akan membawa kita menjadi seseorang yang menghargai diri sendiri dan bahagia, dan di sisi lain, betapa tidaknyamannya diri kita menjadi seorang yang submisif, misalnya: 1) kita menipu diri sendiri dan kehilangan harga diri alasannya yakni didominasi orang lain dan tidak sanggup melaksanakan perubahan, 2) kita dituntut untuk tidak jujur, menyangkal perasaan yang sebenarnya, 3) ketidaksetaraan dan submisif mengancam, bila tidak merusak, rasa cinta dan penghargaan, 4) korelasi yang terjalin dengan orang lain didasarkan pada keberadaan kita sebagai “budak”, “yes man”, “pelayan”, 5) alasannya yakni harus menutupi perasaan yang sesungguhnya, maka kita harus selalu melaksanakan manipulasi untuk mendapatkan apa yang kita butuhkan, dan ini membuat kebencian, 6) ketundukan kita membuat penindasan terhadap kita makin menjadi-jadi.
Kesadaran wacana kelemahan, ke-submisifan, dan ketidaknyamanan akhir submisif akan mendorong kita untuk mau mengubah diri menjadi seorang yang asertif. Tapi tentu saja, setiap perubahan biasanya memunculkan kecemasan, dan ini harus diatasi. Kita pun harus meredam konflik dalam diri kita alasannya yakni melawan nilai-nilai yang selama ini kita anut. Selain itu, juga perlu berbicara dengan orang lain, yang mungkin akan merasa kaget dengan perubahan sikap yang kita tampilkan. Jelaskan kepada mereka alasan kita menjadi asertif sehingga mereka sanggup memahami dan menerima, atau bahkan pada akhirnya, menghargai kita alasannya yakni menjadi seseorang yang mempertimbangkan mereka, orang lain, dan diri sendiri.
2. Memperhitungkan cara-cara yang sesuai untuk menyatakan diri sendiri dalam setiap situasi khusus yang berkaitan dengan diri kita.
Ada banyak cara untuk mencari respons-respons asertif yang efektif, bijaksana, dan adil. Kita sanggup mengamati model/contoh yang baik, mendiskusikan situasi yang bermasalah dengan seorang teman, kolega, konselor, atau orang lain, mencatat dengan teliti bagaimana orang-orang berespons terhadap situasi yang ibarat dengan situasi yang sesungguhnya kita hadapi, kemudian mempertimbangkan apakah mereka tergolong asertif, submisif, atau agresif. Agar respons kita asertif, maka perlu kita pahami bahwa respons-respons yang asertif terdiri atas tiga bagian, yaitu:
1) Menjelaskan (kepada orang lain yang terlibat) situasi bermasalah sebagaimana kita melihatnya. Khususkan pada waktu dan tindakannya, bukan menawarkan pernyataan yang bersifat umum/ general, ibarat “Anda selalu memusuhi…… membingungkan…… sibuk”. Kita harus objektif, jangan menilai seseorang sebagai orang yang jelek secara keseluruhan. Kita juga harus memfokuskan pada perilakunya, bukan pada alasannya.
2) Menjelaskan perasaan kita dengan memakai pernyataan “Saya” yang memperlihatkan bahwa kita memang bertanggung jawab terhadap perasaan kita sendiri. Kita harus tegar dan menguatkan diri, yakin, menatap mereka, dan tidak emosional. Juga memfokuskan pada perasaan positif yang berafiliasi dengan tujuan kita, bukan pada kebencian orang lain. Kadang-kadang sanggup sangat membantu bagi kita apabila menjelaskan alasan, mengapa kita mempunyai perasaan tertentu, contohnya “Saya merasa…….. karena……….”.
3) Menjelaskan perubahan yang ingin kita buat, mengkhususkan pada tindakan apa yang seharusnya dilarang dan dimulai. Kita harus meyakin diri kira bahwa perubahan yang dibutuhkan tersebut masuk akal, kita pun mempertimbangkan kebutuhan orang lain, dan sebaliknya merelakan bahwa kita pun harus berubah. Kita juga harus siap dengan konsekuensi, yaitu bila orang lain ternyata berubah sesuai dengan yang kita harapkan, atau justru tidak berubah. Kita harus menjaga jangan hingga mengancam bila mereka tidak berubah sebagaimana kita inginkan.
Berdasarkan penelitian, Schimmel (1976) menyatakan bahwa beberapa jenis sikap asertif yang perlu dilatihkan terutama adalah:
1. Berani mengemukakan pendapat, permintaan, kesukaan, dsb, yang mengakibatkan seseorang dihargai sebagai insan yang sederajat dengan insan lain.
2. Mengekspresikan emosi-emosi negatif (keluhan, kebencian, kritik, ketidaksetujuan, rasa tertekan, kebutuhan untuk dibiarkan sendirian) dan menolak permintaan.
3. Memperlihatkan emosi-emosi positif (senang, menghargai, menyukai seseorang, merasa tertarik), menawarkan pujian, dan mendapatkan kebanggaan dengan mengucapkan “terima kasih”.
4. Memulai, melaksanakan, mengubah, atau menghentikan percakapan secara menyenangkan, mengembangkan perasaan, pendapat, dan pengalaman dengan orang lain.
5. Mengatasi ketersinggungan sebelum kemarahan makin meningkat dan meledak menjadi agresi.
Untuk melatihkan dan menerapkan sikap asertif, ada dua tahap yang perlu dilakukan, yaitu:
1. Mengenali dan menyadari dimana perubahan perlu dilakukan, dan kita harus yakin dengan hak kita.
Mengisi buku diary sanggup membantu kita menilai seberapa jauh kita terintimidasi, pasif, malu, atau seberapa jauh orang lain menuntut, memaksa, atau berangasan terhadap kita. Ambillah contoh, dimana kita pasif atau agresif.
Beberapa dari kita masih mempunyai kelemahan untuk berkata “tidak” terhadap sahabat yang meminta bantuan, kita tidak sanggup menawarkan atau mendapatkan pujian, kita membiarkan pasangan atau anak kita menguasai kehidupan kita, kita tidak berani berbicara di depan lembaga wacana ketidaksetujuan kita, kita aib meminta tolong, kita takut membuat orang lain merasa terhina, dsb. Tanyakanlah pada diri sendiri, maukah kita terus menerus dalam kelemahan ini?
Selain itu, pertimbangkan pula, “darimana nilai-nilai yang kita miliki berasal”. Pada masa kecil, kita biasa dijejali dengan aturan-aturan “jangan emosional, jangan berbuat salah, jangan mementingkan diri sendiri, jangan bilang pada orang kalau kita tidak menyukainya, jangan membantah”, dan banyak lagi hukum lain yang berlawanan dengan apa yang kita inginkan. Aturan-aturan tersebut mengakibatkan anak, bahkan sehabis dewasa, sebagai seorang yang selalu tunduk (submisif). Mungkin beberapa hukum tersebut ada benarnya untuk anak-anak, tetapi selaku orang dewasa, seharusnya tidak membabi buta menerapkan hukum tersebut.
Perlu pula kita sadari, betapa sikap asertif akan membawa kita menjadi seseorang yang menghargai diri sendiri dan bahagia, dan di sisi lain, betapa tidaknyamannya diri kita menjadi seorang yang submisif, misalnya: 1) kita menipu diri sendiri dan kehilangan harga diri alasannya yakni didominasi orang lain dan tidak sanggup melaksanakan perubahan, 2) kita dituntut untuk tidak jujur, menyangkal perasaan yang sebenarnya, 3) ketidaksetaraan dan submisif mengancam, bila tidak merusak, rasa cinta dan penghargaan, 4) korelasi yang terjalin dengan orang lain didasarkan pada keberadaan kita sebagai “budak”, “yes man”, “pelayan”, 5) alasannya yakni harus menutupi perasaan yang sesungguhnya, maka kita harus selalu melaksanakan manipulasi untuk mendapatkan apa yang kita butuhkan, dan ini membuat kebencian, 6) ketundukan kita membuat penindasan terhadap kita makin menjadi-jadi.
Kesadaran wacana kelemahan, ke-submisifan, dan ketidaknyamanan akhir submisif akan mendorong kita untuk mau mengubah diri menjadi seorang yang asertif. Tapi tentu saja, setiap perubahan biasanya memunculkan kecemasan, dan ini harus diatasi. Kita pun harus meredam konflik dalam diri kita alasannya yakni melawan nilai-nilai yang selama ini kita anut. Selain itu, juga perlu berbicara dengan orang lain, yang mungkin akan merasa kaget dengan perubahan sikap yang kita tampilkan. Jelaskan kepada mereka alasan kita menjadi asertif sehingga mereka sanggup memahami dan menerima, atau bahkan pada akhirnya, menghargai kita alasannya yakni menjadi seseorang yang mempertimbangkan mereka, orang lain, dan diri sendiri.
2. Memperhitungkan cara-cara yang sesuai untuk menyatakan diri sendiri dalam setiap situasi khusus yang berkaitan dengan diri kita.
Ada banyak cara untuk mencari respons-respons asertif yang efektif, bijaksana, dan adil. Kita sanggup mengamati model/contoh yang baik, mendiskusikan situasi yang bermasalah dengan seorang teman, kolega, konselor, atau orang lain, mencatat dengan teliti bagaimana orang-orang berespons terhadap situasi yang ibarat dengan situasi yang sesungguhnya kita hadapi, kemudian mempertimbangkan apakah mereka tergolong asertif, submisif, atau agresif. Agar respons kita asertif, maka perlu kita pahami bahwa respons-respons yang asertif terdiri atas tiga bagian, yaitu:
1) Menjelaskan (kepada orang lain yang terlibat) situasi bermasalah sebagaimana kita melihatnya. Khususkan pada waktu dan tindakannya, bukan menawarkan pernyataan yang bersifat umum/ general, ibarat “Anda selalu memusuhi…… membingungkan…… sibuk”. Kita harus objektif, jangan menilai seseorang sebagai orang yang jelek secara keseluruhan. Kita juga harus memfokuskan pada perilakunya, bukan pada alasannya.
2) Menjelaskan perasaan kita dengan memakai pernyataan “Saya” yang memperlihatkan bahwa kita memang bertanggung jawab terhadap perasaan kita sendiri. Kita harus tegar dan menguatkan diri, yakin, menatap mereka, dan tidak emosional. Juga memfokuskan pada perasaan positif yang berafiliasi dengan tujuan kita, bukan pada kebencian orang lain. Kadang-kadang sanggup sangat membantu bagi kita apabila menjelaskan alasan, mengapa kita mempunyai perasaan tertentu, contohnya “Saya merasa…….. karena……….”.
3) Menjelaskan perubahan yang ingin kita buat, mengkhususkan pada tindakan apa yang seharusnya dilarang dan dimulai. Kita harus meyakin diri kira bahwa perubahan yang dibutuhkan tersebut masuk akal, kita pun mempertimbangkan kebutuhan orang lain, dan sebaliknya merelakan bahwa kita pun harus berubah. Kita juga harus siap dengan konsekuensi, yaitu bila orang lain ternyata berubah sesuai dengan yang kita harapkan, atau justru tidak berubah. Kita harus menjaga jangan hingga mengancam bila mereka tidak berubah sebagaimana kita inginkan.
Belum ada Komentar untuk "✔ Melatih Diri Berperilaku Asertif"
Posting Komentar