✔ 5 Penyebab Guru Malas Menulis

Guru malas menulis? Rasa-rasanya kok tidak mungkin. Bukankah setiap hari guru itu pekerjaannya menulis?

Betul. Guru selalu memberikan materi ke siswa niscaya dibumbui dengan menulis di papan tulis. Guru juga mencatat hal-hal penting ketika rapat, menulis manajemen mengajar, atau petunjuk wacana kebijakan baru, juga menuntut kegiatan menulis.

Tapi semua itu masih dalam ranah tupoksi guru. Artinya goresan pena yang dihasilkan masih sebatas menyalin dari buku paket dan contohnya ada yang wangsit sendiri itupun hanya alasannya ialah tuntutan atasan. Atau paling cantik untuk kenaikan jabatan.

Kalau yang dimaksud menulis disini ialah menulis artikel secara dapat bangkit diatas kaki sendiri dan tanpa diperintah, untuk kemudian diupload di website atau blog pribadi, atau dikirimkan ke media massa, atau diterbitkan menjadi sebuah buku, masih sedikit guru yang mau melakukannya. Pokoknya tulisan-tulisan yang menuntut kedalaman fatwa dan berpikir komprehensif, kebanyakan guru masih enggan.

Mengapa?

Inilah yang akan menjadi topik postingan kali ini. Harapannya, sesudah sadar apa saja hal-hal yang menghambat niat untuk menulis, segera melaksanakan koreksi dan mulai berpikir tema apa yang paling gampang dulu, kemudian tanpa pikir panjang pribadi menuliskan apa yang ada di pikiran.

Baca: Pilih jadi blogger atau penulis buku?

Biar mudah, mari kita bedakan penyebab malas menulis menjadi dua bagian. Yang pertama ialah penyebab dari dalam (faktor internal), dan yang kedua penyebab dari luar (faktor ekstern). Poin nomor 1 hingga 3 ialah faktor internal, sedangkan nomor 4 dan 5 merupakan faktor eksternal. Berikut ini ulasan lengkapnya.

1. Sibuk dengan rutinitas dinas

Semakin usang tuntutan yang dialamatkan pada guru semakin banyak. Kalau dulu guru cukup mengajar di dalam kelas, kini harus menciptakan perencanaan. Termasuk menciptakan soal tes, mengevaluasi hasil berguru siswa, mencari media dan alat peraga yang tepat.

Itu belum kalau ada pemberkasan tertentu, contohnya sertifikasi, KGB, mengisi kuesioner PMP dan sebagainya. Sehingga meski sepertinya guru pulang lebih awal dibanding pegawai instansi lain, faktanya banyak yang harus menuntaskan pekerjaan itu di rumah.

Kapan waktu menulisnya?

2. Sulit mencari wangsit tulisan

Terkadang di tengah kegiatan yang padat, anda sudah bisa menyisihkan waktu, misalkan tiap jam 3 hingga 4 pagi. Tapi ketika hendak menulis kalimat pertama, tiba-tiba blank gundah menulis wacana apa. Saya harus menulis apa dan bagaimana mengawalinya. Akhirnya harapan menulis berhenti di angan-angan saja.

3. Muncul rasa kurang percaya diri secara tiba-tiba

Masalah ini hampir dialami semua penulis pemula. Saat enak-enak menulis, tiba-tiba muncul perasaan, “Jangan-jangan goresan pena saya kurang menarik”. Bisa juga takut dikira sok bijak, sok menasehati, jangan-jangan data saya salah, dan sebagainya.

Padahal pikiran semacam itu terlalu kejauhan. Belum tentu juga goresan pena anda dibaca orang. Kalau dibaca kemudian disalahkan, ya alhamdulilah. Berarti ada yang mengkoreksi, artinya itu peduli. Yang penting jujur dan tidak bohong, kalau salah itu wajar.

4. Lingkungan guru kurang mendukung

Dosen dan guru itu sama-sama pendidik. Tapi entah kenapa kalau di sekolah gereget menulisnya kalah jauh dibanding kampus. Ada anggapan bahwa dosen itu tingkat intelektualnya lebih tinggi dibanding guru.

Salah besar. Belum tentu dosen dengan kemahirannya bangkit di depan mahasiswa itu juga terampil mengajar bawah umur usia sekolah. Karena kampus dan sekolah itu hanya beda jenjang, dua dimensi yang berbeda. Kaprikornus guru dan dosen jago di dunianya masing-masing.

Lalu kenapa dosen lebih produktif menulis? Karena lingkungannya mendukung! Bayangkan jikalau guru terlihat sering sibuk mengetik untuk menulis artikel, yang ada malah menjadi materi prasangka, “Emangnya kiprah rutin udah selesai??”

5. Kurang penghargaan dan perlindungan

Plagiasi ketika ini masih marak dan menjadi phobia tersebar para penulis. Bagaimana tidak, publikasi karya secara online (lewat blog, facebook, dan lainnya) malah menjadi ladang orang tak bertanggungjawab untuk dicopy paste untuk diakui sebagai karyanya. Sehingga karya tulis asli dengan copas sulit dibedakan mana penulis asilnya. Akhirnya guru yang sudah mulai merintis untuk menulis, menjadi malas dan berhenti alasannya ialah tidak ingin cuma jadi joki, ide-idenya dicuri seenaknya.

5 alasan itulah yang jadi penyebab, kenapa guru yang menghasilkan karya tulis jumlahnya sangat minim. Seolah-olah guru hanya bisa mengemukakan wangsit secara verbal saja, sedangkan menulis dianggap memusingkan. Lebih banyak bicara, tapi minim karya.

Padahal guru yang suka menulis berkarya gampang lebih gampang disukai siswa-siswinya (penjelasan lebih lengkap wacana ini silahkan membaca 9 Ciri Guru yang Baik dan Disukai Siswa)

Mudah-mudahan paparan saya kali ini bermanfaat untuk anda. Mulailah menulis wacana yang terdekat dengan anda. Bisa berupa permasalahan siswa, menyerupai siswa yang paling unik, bandel, cerdas, nakal, dan lainnya. Menulis wacana tragedi yang dialami sendiri tentu lebih gampang dan lebih menarik daripada menulis teori-teori sulit yang orangpun mungkin juga malas membacanya.

Belum ada Komentar untuk "✔ 5 Penyebab Guru Malas Menulis"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel