✔ 3 Kebijakan Mendikbud Baru. Apa Saja?

Tak usang sehabis ditunjuk sebagai Mendikbud baru, Muhadjir Effendy telah menggulirkan beberapa wacana kebijakan besar. Kesemuanya menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat, utamanya yang bergelut di dunia pendidikan yang menjadi ujung tombak dari kebijakan yang akan diterapkannya. Wacana tersebut yaitu peniadaan kewajiban 24 jam mengajar, “full day school”, dan sekolah lima hari kerja. Respon yang muncul menyampaikan bahwa kalau memang ketiga hal ini diterapkan, maka akan perombakan total dalam sistem pembelajaran di sekolah-sekolah.

Sekilas terlihat menteri kita yang gres ini masih meneruskan tradisi usang dengan selalu memunculkan sesuatu yang gres ketika menjabat. Adagium yang menyampaikan “Ganti Menteri Ganti Kurikulum” agaknya benar adanya. Dengan nada menyindir, orang menyampaikan Mendikbud tidak perlu dijabat oleh orang yang terlalu pintar, tapi yang istiqomah dan bisa menahan giri. Jika dilihat, memang benar bahwa Mendikbud yang beberapa tahun belakangan ini dijabat oleh orang yang bergelar profesor, seakan mengajarkan kepada setiap manusia pendidikan untuk selalu berkreasi dan berinovasi. Namun inovasinya kadang berlebihan, alasannya yaitu kebijakan usang belum tuntas sudah diganti model baru. Pembaruan demi pembaruan tersebut kadang kurang bisa dijangkau pada arus bawah.

Kalau boleh jujur, bekerjsama Anies Baswedan-lah sosok yang cukup bisa menahan diri untuk tidak selalu menggulirkan hal-hal gres yang justru membingungkan pelaksana pendidikan tingkat bawah. Masih teringat ketika ia batal mengubah nama kurikulum 2013 menjadi kurikulum nasional meskipun publik menerka perubahan itu bakal segera disahkan. Padahal ekonomis saya, nama terakhirlah yang bekerjsama lebih sempurna dengan aspek inklusivitas yang menonjol, bukan nama pertama yang cenderung eksklusif.

Yaa, Muhammad Nuh memang tidak pernah menyampaikan ada motivasi “ingin dikenang” dari penerapan kurikulum gres itu. Tapi kita bisa berandai-andai kalau kurikulum ini diterapkan hingga 20 tahun misalnya, kita akan mendengar pertanyaan dari bawah umur kita, “Siapa menteri tahun 2013 itu?”.

Alih-alih mengubahnya, Anies justru menahan diri alasannya yaitu bukan itulah esensinya. Lebih penting dipikirkan yaitu bagaimana mematangkan dan menyempurnakan kurikulum ini. Pelaksanaannya ia  stop untuk sementara waktu sambil menunggu dimatangkan terutama segi penilaiannya. Ia bergeming dari menteri “pencetusnya” yang mengibaratkan mirip anak gres bisa berjalan diputus kakinya. Sebuah keputusan yang patut diapresiasi mengingat pada tingkat bawah, dominan guru masih kebingungan dalam hal menciptakan penilaian.

Tentu kurang bijak kalau kurikulum yang masih setengah-setengah dipaksa untuk diujicobakan. Anak didiklah yang akan menjadi korban, berikut orang renta yang selalu memantau perkembangan belajarnya.

Untuk menteri yang sekarang, agaknya kembali mirip yang sebelum Anies. Bahkan dia tampak lebih menggebu-gebu dalam membangun pendidikan tanah air. Kita bisa melihatnya dengan tiga wacana besar di atas yang digulirkan kurang dari tiga bulan menjabat. Salah atau burukkah yang demikian? Belum tentu. Mari kita telaah wacana ketiga wacana tersebut.

Pertama, peniadaan kewajiban 24 jam mengajar. Bagi guru akan terasa asing kalau kebijakan ini diterapkan. Bukan apa-apa, inilah yang diperbincangkan ketika rapat memasuki awal tahun pelajaran. Guru akan memperjuangkannya supaya hak yang menyangkut kesejahteraan bisa diperoleh. Jika tidak mencukupi, maka siap-siap mencari sekolah lain yang bersedia menyerahkan sebagian jam pelajaran kepada guru tersebut. Tak sedikit guru yang harus mengajar puluhan kilometer dari rumahnya hanya untuk mengajar 2 jam pelajaran seminggu.

Dan ternyata, kenyataan terakhir inilah yang menjadi dasar Mendikbud untuk menghapus 24 jam wajib mengajar.

Ini memang sebuah hal yang dilematis. Di satu sisi, 24 jam pelajaran bukanlah waktu yang banyak dan memberatkan. Jika dikumpulkan, seluruhnya tidak hingga 4 hari kerja. Namun kenyataan di lapangan, tidak semua sekolah bisa mewadahi gurunya untuk melakukan beban itu di sekolah induknya.

Bagi guru yang berstatus guru kelas di SD atau guru-guru senior di sekolah menengah, mungkin aman- kondusif saja. Tapi dengan guru mapel SD atau guru gres di sekolah menengah harus putar otak akhir pembatasan jam mata pelajaran yang diampunya. Bahasa Inggris misalnya, di SD hanya diperbolehkan maksimal 8 jam pelajaran. Maka untuk memenuhi sasaran itu sedikitnya harus ada tiga forum yang ia ajar. Apakah ia bisa mengemban kiprah itu? Mampu. Apakah ia bisa maksimal? Ini yang meragukan.

Implikasi negatif dari adanya guru yang “nyambi” di sekolah lain turut memperburuk gambaran pendidikan. Yakni sekolah yang memasang tarif untuk guru titipan ini. Semua sudah saling tahu bahwa motivasi mengajar di sekolah lain hanya alasannya yaitu ingin mencairkan tunjangan. Sehingga ketika tunjangan tersebut turun, sekolah meminta beberapa persen dari guru sebagai kompensasi sumbangan jam mengajar.

Apa yang digadang-gadang menjadi biang ketidaknyamanan guru dalam mengajar coba dihilangkan dengan menghapus kewajiban 24 jam pelajaran. Tapi apakah dengan demikian guru bebas berapaun jam pelajaran asalkan hanya berada di sekolah induk? Tentu tidak. Hal itu justru malah menciptakan sistem pembelajaran menjadi morat-marit. Tinggal dinantikan bagaimana keputusan lanjutannya.

Belum ada Komentar untuk "✔ 3 Kebijakan Mendikbud Baru. Apa Saja?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel