✔ Peranan Interpersonal Seorang Manajer
| Peranan interpersonal mencakup kepala sekolah/madrasah sebagai: (1) figure-head (kepala sekolah/madrasah sebagai lambang atau simbol), (2) pemimpin (leader), dan (3) penghubung (liaison). Kepala sekolah/madrasah sebagai lambang, dia mewakili sekolah/madrasahnya dalam menghadiri acara-acara seremonial, baik resmi maupun tidak resmi menyerupai upacara-upacara resmi di sekolah/madrasah dan pemerintahan/swasta, mendapatkan tamu, memberikan pidato-pidato, menghadiri seruan ijab kabul pendidik dan tenaga kependidikannya, meninjau ke sekeliling sekolah/madrasahnya, mengunjungi kelas-kelas, mengenal siswa-siswanya, menyiapkan visi, dan sebagainya (Sergiovanni, 1991; Stoner & Freeman, 2000). Satu hal yang lebih penting berkenaan dengan kepala sekolah/madrasah sebagai lambang yaitu pendidik dan tenaga kependidikan dan masyarakat luas mengamati bahwa peranan ini, memilih sukses atau gagalnya sekolah/madrasah, menyerupai yang dinyatakan Stoner & Freeman (2005), “More importantly, manager are symbols and pesonity, for both organizational members and outside observers, an organization's successes and failures. ”
Berkenaan kepala sekolah/madrasah sebagai pemimpin simbolik (symbolic leaders), berdasarkan Deal & Peterson (2000) ada delapan peranan yang harus dimainkannya yaitu sebagai: (1) historian (penulis sejarah), (2) antropological sleuth (detektif antropologi), (3) visionary (pemimpin), (4) symbol (lambang), (5) potter (pengrajin), (6) poet (penyair), (7) actor (pemain), dan (8) healer (penyembuh).
Sebagai historian, dia selalu berusaha memahami keadaan sosial, ekonomi, dan norma-norma sekolah/madrasah di masa lampau. Sebagai antropological sleuth, dia menganalisis dan menyidik budaya (norma-norma, nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan) sekolah/madrasah dikala ini untuk dikembangkan di masa yang akan datang. Sebagai visionary, dia berhubungan dengan kepala sekolah/madrasah lainnya dan masyarakat di sekitarnya untuk tetapkan secara baik fokus gambaran nilai-nilai sekolah madrasah masa depan yang akan diterapkan menjadi visi sekolah/madrasah untuk dilaksanakan dengan baik. Sebagai symbol, dia menyatakan nilai-nilai melalui cara berpakaian, berperilaku, dan menaruh perhatian secara rutin. Sebagai potter, dia membentuk dan dibuat oleh budaya sekolah/madrasah menyerupai ritual-ritual, tradisi-tradisi, simbol-simbol yang membuat pendidik dan tenaga kependidikan bersatu dalam nilai-nilai inti (core values) sekolah/madrasahnya. Sebagai poet, dia memakai bahasa yang gampang dipahami dan dipraktikkan untuk mendukung nilai-nilai inti sekolah/madrasah secara berkelanjutan sehingga menyebabkan nilai-nilai inti itu sebagai gambaran terbaik sekolah/madrasahnya. Sebagai actor; dia membuat drama-drama, komedi-komedi, dan tragedi-tragedi sekolah/madrasah yang harus dimainkannya Sebagai healer, dia mengawasi transisi dan mengubah kehidupan sekolah/ madrasah serta menyembuhkan, baik luka hati maupun luka fisik akhir konflik-konflik, pertandingan-pertandingan olah raga atau kecelakaan yang terjadi di sekolah/madrasahnya (Deal & Peterson, 2000).
Pendapat Deal & Peterson di atas sanggup membingungkan pembaca alasannya yaitu di dalam pemimpin simbolik ada pula istilah pemimpin sebagai simbol. Pemimpin simbolik berarti pemimpin bersifat simbol yang sudah tentu di dalamnya tidak perlu lagi ada kepala sekolah/madrasah sebagai simbol. Demikian pula sebagai potter, dia membentuk dan dibuat oleh budaya sekolah/madrasah menyerupai ritual-ritual, tradisi-tradisi, dan simbol-simbol. Pernyataan membentuk dan dibuat oleh simbol-simbol juga sudah termasuk dalam arti pemimpin simbolik.
Kepala sekolah/madrasah sebagai leader, dia memainkan peranannya Sebagai pemimpin, yaitu memimpin sekolah/madrasah dalam rangka pendayagunaan sumber daya sekolah/madrasah secara optimal. Ia berkemampuan membuatkan visi dan melaksanakan visi sekolah/madrasah, dan merasa sekolah/madrasah sebagai miliknya dalam makna positif. Sebagai leader, dia juga harus bisa berperan sebagai coordinator, director; motivator, communicator; delegator, resolver of conflict, and decision maker (Hunsaker, 2001). Kepala sekolah/madrasah sebagai leader sering dikaburkan orang dengan kepala sekolah/madrasah sebagai manager. Perbedaannya berdasarkan Hunsaker (2001) yaitu manager sanggup menjadi leader; tetapi leader tidak sanggup menjadi manager.
Kepala sekolah/madrasah sebagai penghubung (liaison), dia berperan sebagai politisi dan sebagai pengelola hubungan sekolah madrasah dengan masyarakat. Sebagai politisi, dia harus mempelajari kolaborasi dengan setiap orang baik di dalam maupun di luar sekolah/madrasah yaitu orang-orang yang sanggup memenuhi kepentingannya yaitu untuk mencapai tujuan sekolah] madrasah, membangun jaringan kerja dan pemberian terhadap kepemimpinannya, beraliansi dan berkoalisi jikalau masih lemah, dan bila sudah besar lengan berkuasa berani berkompetisi dalam rangka memenangkan sekolah/madrasahnya sebagai yang paling unggul (Stoner & Freeman, 2000). Dalam politik, tidak ada sobat yang abadi, yang ada yaitu kepentingan abadi.
Dinamika politik sanggup menyebabkan politik itu kotor, busuk, dan merusak. Sebaliknya, politik juga sanggup menjadi kendaraan kepala sekolah/madrasah untuk mencapai tujuan sekolah/madrasah dan memenangkan persaingan sekolah/madrasah. Politisi yang higienis dan konstruktif harus mengenal dan memahami kenyataan politik, yakni mengutamakan untuk kepentingan rakyat atau konstituennya daripada untuk kepentingan dan kekayaan partai dan/atau pribadinya. Mereka harus mengetahui cara: (1) membuat dan memakai agenda, (2) memetakan kekuatan politik dikala ini, (3) membentuk jaringan kerja dan koalisi, (4) melaksanakan tawar-menawar (bargaining) dan perundingan (Bohman & Deal, 2007). Kepala sekolah/madrasah juga harus mengetahui empat hal yang paling sensitif dalam berpolitik, yaitu (1) bergabung kekuasaan (2) bergabung sumber daya, (3) memberdayakan masyarakat lokal, dan (4) mengakui keberadaan identitas daerah.
Sumber:
Usman, Husaini. 2011. Manajemen: Teori, Praktek, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Hal.17-20.
Keyword terkait:
manajemen pendidikan dalam profesi keguruan, manajemen pendidikan berdasarkan para ahli, manajemen pendidikan dan manajemen pendidikan.
Berkenaan kepala sekolah/madrasah sebagai pemimpin simbolik (symbolic leaders), berdasarkan Deal & Peterson (2000) ada delapan peranan yang harus dimainkannya yaitu sebagai: (1) historian (penulis sejarah), (2) antropological sleuth (detektif antropologi), (3) visionary (pemimpin), (4) symbol (lambang), (5) potter (pengrajin), (6) poet (penyair), (7) actor (pemain), dan (8) healer (penyembuh).
Sebagai historian, dia selalu berusaha memahami keadaan sosial, ekonomi, dan norma-norma sekolah/madrasah di masa lampau. Sebagai antropological sleuth, dia menganalisis dan menyidik budaya (norma-norma, nilai-nilai, dan keyakinan-keyakinan) sekolah/madrasah dikala ini untuk dikembangkan di masa yang akan datang. Sebagai visionary, dia berhubungan dengan kepala sekolah/madrasah lainnya dan masyarakat di sekitarnya untuk tetapkan secara baik fokus gambaran nilai-nilai sekolah madrasah masa depan yang akan diterapkan menjadi visi sekolah/madrasah untuk dilaksanakan dengan baik. Sebagai symbol, dia menyatakan nilai-nilai melalui cara berpakaian, berperilaku, dan menaruh perhatian secara rutin. Sebagai potter, dia membentuk dan dibuat oleh budaya sekolah/madrasah menyerupai ritual-ritual, tradisi-tradisi, simbol-simbol yang membuat pendidik dan tenaga kependidikan bersatu dalam nilai-nilai inti (core values) sekolah/madrasahnya. Sebagai poet, dia memakai bahasa yang gampang dipahami dan dipraktikkan untuk mendukung nilai-nilai inti sekolah/madrasah secara berkelanjutan sehingga menyebabkan nilai-nilai inti itu sebagai gambaran terbaik sekolah/madrasahnya. Sebagai actor; dia membuat drama-drama, komedi-komedi, dan tragedi-tragedi sekolah/madrasah yang harus dimainkannya Sebagai healer, dia mengawasi transisi dan mengubah kehidupan sekolah/ madrasah serta menyembuhkan, baik luka hati maupun luka fisik akhir konflik-konflik, pertandingan-pertandingan olah raga atau kecelakaan yang terjadi di sekolah/madrasahnya (Deal & Peterson, 2000).
Pendapat Deal & Peterson di atas sanggup membingungkan pembaca alasannya yaitu di dalam pemimpin simbolik ada pula istilah pemimpin sebagai simbol. Pemimpin simbolik berarti pemimpin bersifat simbol yang sudah tentu di dalamnya tidak perlu lagi ada kepala sekolah/madrasah sebagai simbol. Demikian pula sebagai potter, dia membentuk dan dibuat oleh budaya sekolah/madrasah menyerupai ritual-ritual, tradisi-tradisi, dan simbol-simbol. Pernyataan membentuk dan dibuat oleh simbol-simbol juga sudah termasuk dalam arti pemimpin simbolik.
Kepala sekolah/madrasah sebagai leader, dia memainkan peranannya Sebagai pemimpin, yaitu memimpin sekolah/madrasah dalam rangka pendayagunaan sumber daya sekolah/madrasah secara optimal. Ia berkemampuan membuatkan visi dan melaksanakan visi sekolah/madrasah, dan merasa sekolah/madrasah sebagai miliknya dalam makna positif. Sebagai leader, dia juga harus bisa berperan sebagai coordinator, director; motivator, communicator; delegator, resolver of conflict, and decision maker (Hunsaker, 2001). Kepala sekolah/madrasah sebagai leader sering dikaburkan orang dengan kepala sekolah/madrasah sebagai manager. Perbedaannya berdasarkan Hunsaker (2001) yaitu manager sanggup menjadi leader; tetapi leader tidak sanggup menjadi manager.
Kepala sekolah/madrasah sebagai penghubung (liaison), dia berperan sebagai politisi dan sebagai pengelola hubungan sekolah madrasah dengan masyarakat. Sebagai politisi, dia harus mempelajari kolaborasi dengan setiap orang baik di dalam maupun di luar sekolah/madrasah yaitu orang-orang yang sanggup memenuhi kepentingannya yaitu untuk mencapai tujuan sekolah] madrasah, membangun jaringan kerja dan pemberian terhadap kepemimpinannya, beraliansi dan berkoalisi jikalau masih lemah, dan bila sudah besar lengan berkuasa berani berkompetisi dalam rangka memenangkan sekolah/madrasahnya sebagai yang paling unggul (Stoner & Freeman, 2000). Dalam politik, tidak ada sobat yang abadi, yang ada yaitu kepentingan abadi.
Dinamika politik sanggup menyebabkan politik itu kotor, busuk, dan merusak. Sebaliknya, politik juga sanggup menjadi kendaraan kepala sekolah/madrasah untuk mencapai tujuan sekolah/madrasah dan memenangkan persaingan sekolah/madrasah. Politisi yang higienis dan konstruktif harus mengenal dan memahami kenyataan politik, yakni mengutamakan untuk kepentingan rakyat atau konstituennya daripada untuk kepentingan dan kekayaan partai dan/atau pribadinya. Mereka harus mengetahui cara: (1) membuat dan memakai agenda, (2) memetakan kekuatan politik dikala ini, (3) membentuk jaringan kerja dan koalisi, (4) melaksanakan tawar-menawar (bargaining) dan perundingan (Bohman & Deal, 2007). Kepala sekolah/madrasah juga harus mengetahui empat hal yang paling sensitif dalam berpolitik, yaitu (1) bergabung kekuasaan (2) bergabung sumber daya, (3) memberdayakan masyarakat lokal, dan (4) mengakui keberadaan identitas daerah.
Sumber:
Usman, Husaini. 2011. Manajemen: Teori, Praktek, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Hal.17-20.
Keyword terkait:
manajemen pendidikan dalam profesi keguruan, manajemen pendidikan berdasarkan para ahli, manajemen pendidikan dan manajemen pendidikan.
Belum ada Komentar untuk "✔ Peranan Interpersonal Seorang Manajer"
Posting Komentar