✔ Eksekusi Sepele Guru Yang Berujung Pidana, Semenjak 2010 Hingga 2017
Kalau ada yang bilang guru itu profesi mudah, sepertinya perlu dipikirkan ulang. Ya, bolehlah dikatakan kalau semua orang sanggup mengajar. Mendidik atau merawat (anak) memang acara yang sanggup dikerjakan semua orang.
Tapi bagi seorang guru, kiprah mengajar di sekolah sama sekali berbeda. Dalam setiap geraknya, ada beban moral dan sosial yang dipikul. Kalau orang renta di rumah melaksanakan kesalahan mungkin si anak masih maklum. Tapi kalau guru salah langkah, balasannya sanggup fatal.
Seperti yang dialami beberapa rekan guru di bawah ini. Niat yang nrimo dalam mendidik (dalam bentuk memberi hukuman/punishment) harus berakhir di kantor polisi. Orang renta anak yang merasa tak terima pribadi melaporkan perbuatan sang guru ke pihak kepolisian.
Siapa yang salah?
Kita semua tentu harus obyektif menilainya. Guru yang menghukum secara fisik apalagi hingga menimbulkan cacat pada anak sangat layak dipidanakan. Namun di sisi lain, orang renta yang anaknya dieksekusi guru sedikit saja, janganlah terlalu “lebay” melaksanakan protes, apalagi hingga menciptakan laporan resmi ke polisi.
Perlu keseimbangan diantara keduanya, dan saling percaya.
Semua juga harus tahu bahwa salah satu kiprah guru dalam mengajar ialah memberi reward and punishment, artinya memberi penghargaan sekaligus hukuman. Penghargaan/pujian diberikan kepada siswa yang menjalankan tugasnya dengan baik, dan bertanggung jawab terhadap peraturan yang ada. Sedangkan hukuman/peringatan diberikan kepada siswa yang lalai terhadap acara dan kebijakan sekolah.
Apa akhir dari banyaknya masalah guru yang dipidanakan?
Yang jelas, sesudah pemberitaan wacana guru yang dipidana itu banyak dimuat media, banyak guru ketika ini yang pilih cari aman. Harus ekstra hati-hati kalau ingin “menyentuh” si anak.
Bagaimana tidak, sudah capek-capek bikin perencanaan mengajar, kadang dalam praktiknya tidak digubris siswa. Sudah capek-capek memperlihatkan teladan bersikap, kadang lingkungan masyarakat mencontohkan sebaliknya. Sudah capek-capek memperlihatkan pelajaran moral di tengah tayangan televisi yang merusak moral. Masak mau dimasukkan penjara juga!
Dalam kondisi ketakutan yang sangat, guru sanggup saja membiarkan apapun kesalahan dan sikap jelek murid demi satu tujuan: tidak mau berurusan dengan polisi.
Bahkan sudah banyak sekolah sekarang yang waktu penerimaan siswa gres (PPDB) harus menandatangani surat pernyataan tidak melaporkan guru ke pihak berwajib berkait dengan kiprah mendidik. Sesuatu hal yang sangat tidak perlu. Apalagi kalau tidak disebabkan maraknya guru-guru yang dilaporkan ke polisi akhir ulah segelintir orang renta siswa. Kabar baiknya, pemerintah sekarang hadir memperlihatkan proteksi terhadap kiprah guru lewat Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 wacana Perlindungan Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Disitu dijelaskan guru menerima proteksi dari segala ancaman, intimidasi dan perlakuan tidak adil dari pihak lain terkait dengan kiprah sebagai pendidik dan tenaga kependidikan.
Nah, ini ialah angin segar tidak hanya untuk guru, tapi bagi semua pihak.
Mudah-mudahan tahun ini ialah simpulan dari perselisihan guru dengan orang renta siswa yang berujung di kepolisian.
Inilah Daftar Guru yang Dipidana Akibat Menghukum (Mendidik) Siswa
Baiklah, marilah kita melihat kembali beberapa masalah yang pernah terjadi. Kalau diperhatikan, selama kurun waktu 7 tahun, setiap tahun niscaya ada saja guru yang dilaporkan orang renta ke polisi karena masalah yang bergotong-royong sanggup diselesaikan secara kekeluargaan.
2010 (Rahman)
Guru SD di Banyuwangi ini dilaporkan ke polisi sesudah memukul betis siswinya dengan penggrais. Hukuman itu diberikan karena siswi tersebut memukul dan menendang 4 temannya hingga menangis.
Jalur mediasi yang ditempuh dengan meminta maaf kepada keluarga siswa, tidak menerima respon baik. Dengan bukti-bukti yang ada, jaksa menuntut 5 tahun penjara.
Untungnya hakim berkata lain. Menurut hakim, hukuman memukul betis potongan belakang dengan penggaris kayu masih dalam koridor pendidikan. Sang guru akhirnya dibebaskan.
2011 (Winoto)
Guru SMAN 1 Sintang ini sudah memohon maaf atas kesalahan yang dilakukannya, yakni menampar siswa yang mangkir dari kegiatan membersihkan lingkungan sekolah. Namun upaya maaf yang ditujukan kepada siswa korban dan orang renta ini tak berbuah manis. Guru ini pun tetap dilaporkan ke pihak kepolisian atas dasar berbuat semena-mena.
2012 (Aop Saopudin)
Kejadian bermula ketika guru SDN Penjalin Kidul 5 Majalengka menerapkan razia rambut panjang kepada para siswa. Hasilnya, 4 siswa kedapatan mempunyai rambut yang tidak sesuai aturan sekolah.
Akibatnya, sang guru memperlihatkan punishment dengan memotong rambut siswa sekenanya, gundul tak beraturan. Hukuman yang jauh dari cacat atau luka fisik ini dipilih supaya ke depan siswa lebih disiplin.
Namun sayang, salah satu siswa tersebut mengadu ke ayahnya. Ironisnya sang ayah tidak terima dengan perlakuan guru. Dirinya berupaya membalas dengan 2 hal konyol: mencukur balik sang guru kemudian melaporkan ke polisi.
Namun meski jelas-jelas ini tindakan konyol, sang guru tetap dijatuhi pasal berlapis Perlindungan Anak dan Perbuatan Tidak Menyenangkan. Bahkan ia sempat dikenakan hukuman percobaan 6 bulan.
Beruntung, sesudah mengajukan kasasi, Mahkamah Agung memvonis bebas guru honorer ini dan menyatakan tidak ada pelanggaran aturan apapun.
2013 (7 guru SMPN I Wundulako)
Kasus yang terjadi di Kolaka, Sulawesi Tenggara ini sempat menarik perhatian. Sebab ketika ketujuh guru ini hendak diperiksa di Polsek, ratusan siswa sekolah ini tiba pribadi memberi derma dan menyatakan guru mereka tidak bersalah.
Kejadian bermula ketika sekolah menetapkan untuk memanggil seorang siswa berjulukan Arfan Arianto yang dinilai sudah sangat bandel dan suka berbuat onar. Saat dipanggil tersebut, si anak malah mengeluarkan kata bergairah tanda tidak terima. Sebagai tindakan disiplin, guru lantas memukul siswa itu memakai buku absen.
Meskipun yakin tidak ada tindak pidana dalam tragedi ini, pihak sekolah bergotong-royong masih berharap ada penyelesaian secara kekeluargaan. Bahkan siswa yang lainnya menilai guru mereka masih bertindak dalam koridor kewajaran.
2014 (Ika)
Bulan Agustus 2014, guru SD di Kota Malang dilaporkan ke polisi karena menampar dan mencubit siswa. Tidak hanya itu, paman korban sempat mengadu ke DPRD Kota Malang supaya masalah yang menimpa keponakannya ini ditanggapi serius.
Permasalahan semakin alot sesudah adanya kabar sang guru enggan meminta maaf karena siswa itu anak nakal. Juga kabar lain bahwa di sekolah, si anak diminta menutupi tragedi itu dengan mengaku bahwa ia sendiri yang mencubit pipinya.
Jalur mediasi dan kekeluargaan tetap ditempuh Dinas Pendidikan setempat, meskipun keluarga menolak dan meneruskan masalah ini ke jalur hukum.
2015 (Nurmayani)
Kasus yang menimpa guru SMPN 1 Bantaeng Sulsel ini sempat menghebohkan masyarakat Indonesia. Publik menilai bahwa hukuman mencubit yang dilakukannya kepada siswa supaya lebih disiplin tak pantas dibawa ke jalur hukum.
Fakta lain bahwa ayah dari siswa yang dicubit itu ialah anggota kepolisian juga meramaikan komentar publik.
Yang jelas, nahas bagi guru biologi ini. Upaya mediasi dan cara hening gagal menemui titik temu, sehingga ia ditetapkan sebagai tahanan titipan Kejaksaan Negeri Bantaeng.
2016 (Sambudi)
Kasus yang menyerupai Nurmayani terulang di awal tahun 2016. Kali ini menimpa Sambudi guru Sekolah Menengah Pertama di Sidoarjo. Dia juga dipolisikan karena mencubit siswa yang melanggar disiplin sekolah, yakni mangkir dari Salat Dhuha dan menentukan bermain di tepi sungai.
Ayah siswa pelapor yang tidak lain ialah anggota Tentara Nasional Indonesia semakin memperlihatkan bahwa dua masalah yang terjadi berdekatan yang dialami Nurmayani dan Sambudi ini benar-benar mirip.
Namun menghadapi kasusnya, Sambudi tidak sendirian. PGRI Sidoarjo bersama ratusan guru hingga melaksanakan long march menuju Pengadilan Negeri Sidoarjo untuk melaksanakan pendampingan. Semua meyakini hukuman yang berupa mencubit masih dalam koridor pendidikan.
Akhirnya di pertengahan tahun, jalan hening berhasil ditempuh. Pelapor bersedia mencabut laporannya sesudah muncul banyak sekali desakan, terutama masalah ini kalau dibiarkan maka semakin usang malah semakin mencoreng gambaran institusi guru, Tentara Nasional Indonesia dan pengadilan.
2017 ( ? ? ? )
Sampai memasuki sepertiga simpulan tahun ini, belum ada satupun info guru yang berurusan dengan aturan karena hukuman sepele yang dilakukannya. Mudah-mudahan ini simpulan dari kasus-kasus konyol yang menimpa guru karena memberi hukuman dalam konteks mendidik.
Meski memang ada beberapa masalah yang terjadi pada tahun ini. Namun yang dilakukan guru tersebut memang masuk kategori pidana. Seperti yang terjadi di Sidoarjo pada Februari lalu, oknum guru yang memukul siswa hingga luka di potongan kepala dan tangan. Atau oknum guru di Balikpapan yang juga memukul siswa hingga luka lebam di potongan pipinya. Jenis hukuman terhadap siswa yang menyerupai ini terang tidak dibenarkan.
. . .
Nah, itulah sederet tragedi malang yang menimpa beberapa rekan guru. Niat baik mendidik, memberi pelajaran moral, justru berakhir di pengadilan. Sekali lagi, diperlukan kerjasama antara guru dan orang renta yang baik supaya tragedi serupa tak terulang.
Selama upaya guru mendisiplinkan anak masih dalam konteks wajar, dan sanggup dimusyawarahkan, janganlah terburu-buru tiba ke sekolah untuk melabrak bahkan membawa ke jalur hukum. Jikapun terbukti ada oknum guru melaksanakan kekerasan di lingkungan sekolah apalagi hingga menimbulkan cidera fisik, jangankan anda, seluruh institusi guru juga akan meminta oknum guru tersebut dipidanakan.
Lebih baik mediasi dulu, diselesaikan secara kekeluargaan. Karena kalau sudah hingga di kepolisian, kemudian mencuat ke publik, ini sanggup berdampak jelek terhadap psikologis anak di masa datang.
Belum ada Komentar untuk "✔ Eksekusi Sepele Guru Yang Berujung Pidana, Semenjak 2010 Hingga 2017"
Posting Komentar